Jatim Raya

Ini Pendapat Tokoh Agama di Jember soal Tradisi ‘Megengan dan Nyekar’ Jelang Ramadhan

52
×

Ini Pendapat Tokoh Agama di Jember soal Tradisi ‘Megengan dan Nyekar’ Jelang Ramadhan

Sebarkan artikel ini

JEMBER (Suarapubliknews) – Setiap menjelang datangnya Bulan Suci Ramadhan, umat Islam terutama yang tinggal di pedesaan selalu melaksanakan tradisi Megengan dan Nyekar sebagai budaya rutin selama bertahun-tahun. Minggu (5/5/19).

Ritual Megengan merupakan tradisi mengumpulkan sanak keluarga untuk makan bersama-sama dan lingkungan sekitar. Kemudian dilanjutkan ritual Nyekar, yakni dengan berbondong-bondong mendatangi makam-makam Leluhur dan sanak keluarga sambil membawa bunga untuk ditaburkan di pusara makam. Kedua Ritual tersebut diisi dengan doa-doa dan membaca Ayat-Ayat suci.

Terlepas dari Pro dan Kontra terhadap adanya tradisi tersebut, media ini berhasil menghimpun keterangan dan pandangan dari Pengurus Syuriyah NU Cabang Kencong sekaligus salah satu Pengasuh PP. As-Suniyyah Kencong KH Khoirzad Mazdah atau lebih akrab disapa Gus Yak.

Menurut dia, jika dari sisi Hukum Islam bahwa tradisi Megengan sudah merupakan kebiasaan yang di lakukan oleh masyarakat menjelang datangnya Ramadhan merupakan kebiasaan yang baik artinya tidak bertentangan dengan syariat islam.

“Karena Tradisi Megengan di situ ada unsur shodaqoh ,ada unsur doa,sementara shodaqoh dan doa merupakan bagian dari ajaran islam,” tutur Gus Yak.

Gus Yak memaparkan, alasan Tradisi Megengan d lakukan menjelang bulan Ramadhan, menurutnya karena memang di bulan ramadhan itu banyak keistimewaan-keistimewaan di dalamnya.

Selain itu pada bulan tersebut adalah bulan yang pernah dijanjikan Allah, yakni barangsiapa yang berbuat baik kepada orang tuanya di bulan suci Ramadhan maka itu dia akan mendapatkan Rahmat dari Alloh.

“Alloh melihat dengan pandangan kasih sayangNya dan ketika orang tua nya sudah meninggal salah satu caranya adalah mendoakannya,maka kemudian ada tradisi Nyekar,” Lanjutnya.

Intinya, lanjut Gus Yak, mengingatkan kembali terhadap jasa-jasa orang tua yang telah membesarkan kita yang sekaligus di situ mendoakan sehingga ada tradisi nyekar menjelang ramadhan.

Gus Yak juga menegaskan, jika kita benar-benar telah berbuat baik kepada orang tua di bulan ramadhan, maka Alloh melihat kita dengan pandangan kasih sayangNya, karena kita telah berbuat baik kepada orang tua.

“Ini adalah salah satu tradisi yang telah diajarkan oleh orang tua kita dahulu sehingga kini ada tradisi Megengan dan nyekar,” terangnya.

Merupakan keistimewaan ulama-ulama dahulu, dimana mereka membingkai keislaman dengan nilai-nilai keislaman yang bisa diajarkan tanpa berbicara bahwa ini adalah bagian dari islam.

“Orang mentradisikan hal tersebut tanpa harus berbicara sebuah ajaran Islam,karena yang di inginkan oleh para ulama dahulu bagaimana umat itu melakukan ajaran Islam meskipun tanpa harus memakai simbol keislaman,” jelasnya.

Sehingga bagian dari ajaran keislaman itu, kata Gus Yak, merupakan bagian dari Ruh kehidupan itu yang paling pokok, sehingga masyarakat hanya mengerti ritual Megengan Nyekar saja, padahal keduanya bagian dari ibadah islam.

Metode yang digunakan oleh para wali dahulu memang tetap relevan harus kita gunakan sampai hari ini dimana para wali itu tidak mengedepankan simbol, tetapi mengedepankan bagaimana ruh keislaman itu bisa berjalan.

“Tidak sebaliknya, Islam itu tampak akan tetapi ruhnya tidak ada,” tegas Gus Yak.

Ketika seseorang itu mengedepankan simbol takutnya kita terjebak pada simbol, hari ini kita banyak terjebak pada simbol, Islam sekarang secara simbol memang tampak.

“Bagaimana di era tahun 80an itu, orang memakai jilbab sangat jarang, hari ini orang berjilbab banyak, tetapi apakah mereka yang berjilbab itu telah benar-benar telah menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar?” Kata Gus Yak.

Hal tersebut yang perlu dikaji kembali, bagaimana sekarang dakwa-dakwah Islam menjamur di mana-mana, dari sisi simbol memang bagus tetapi akan lebih penting lagi bagaimana masyarakat itu memahami dan melakukan keislaman secara baik dan benar.

“Ini garapan kita di situ (red Ulama NU),biarlah mereka yang selalu menampakkan simbol keislaman di situ,kita mengisi bagaimana masyarakat ini benar-benar ada ruh keislaman dengan cara memasuki wilayah-wilayah yang di situ mereka tidak merasa kalau kita masuk kepada mereka, tetapi mereka merasa menjadi bagian dari kita,” ungkapnya.

Gus Yak menyebutkan, bulan ramadhan adalah bulan yang penuh pengampunan artinya untuk membuka lebar-lebar diri kita untuk saling memberikan maaf.

“Jika di bulan ramadhan kita masih suka bersengketa berarti kita tidak menemukan ruhnya Ramadhan,” terangnya.

Perbedaan itu, Lanjutnya, merupakan bagian dari sunah rasul yang tidak bisa di pisahkan.

“Saya kira mesti ada perbedaan-perbedaan di sisi agama ,politik ,tetapi bagaimana di bulan ramadhan ini kita belajar dari situ maka kita bisa memberikan pengampunan setiap komponen bangsa ini,” lanjutnya.

Bagaimana kita belajar dari Allah ketika Alloh memberikan pengampunan kepada makhluknya. Kita sebagai mahluk kenapa tidak bisa memberikan ampunan.

“Jika ini bisa kita lakukan mungkin perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi masalah karena kita melebarkan hati kita sehingga menerima perbedaan itu,” pungkasnya. (q cox, Thr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *