Hukrim

Jadi Saksi Ahli di Kasus Lau Djin Ai alias Kristin, Ini Penjelasan Singky Soewadji

14
×

Jadi Saksi Ahli di Kasus Lau Djin Ai alias Kristin, Ini Penjelasan Singky Soewadji

Sebarkan artikel ini

JEMBER (Suarapubliknews) – Ditemui usai sidang lanjutan kasus Lau Djin Ai alias Kristin di Pengadilan Negeri (PN) Jember, Singky Soewadji selaku saksi ahli dengan tegas mengatakan jika aparat penegak hukum dan instansi terkait harus memahami secara utuh arti dan makna konservasi.

Singky Soewadji dengan predikat pemerhati satwa liar asal Kota Surabaya dimintai keterangannya sebagai saksi ahli oleh majelis hakim bersama Soewadji mantan Kepala SBKSA Jatim I, juga mantan Kabag Peraturan Perundang Undangan Ditjen PHKA.

Kepada sejumlah awak media, Singky Soewadji mengatakan jika pertanyaan yang disampaikan kuasa hukum terdakwa maupun JPU di persidangan hanya mengarah ke soal teknis penangkaran, bukan terkait soal kasus yang sedang dijeratkan ke terdakwa.

“Saya tadi ditanya juga nggak ngerti ya, tujuannya kemana, karena pertanyaannya soal teknis penangkaran, padahal substansi persoalan ini kan soal kasus ijin usaha penangkaran yang mati yang kemudian dipidanakan, kan itu, tapi kuasa hukum mapun jaksa tidak tanya soal itu,” ucapnya. Selasa (5/03/2019)

Sebagai saksi ahli, Singky Soewadji mengaku jika dirinya tidak bisa menyampaikan semua yang dikuasainya, tetapi hanya berusaha untuk menjawab pertanyaan.

“Jadi saya tadi tidak bisa menjabarkan apapun semau saya, karena keberadaan saya sebagai saksi ahli hanya akan menjawab pertanyaan. Namun saat ada yang berusaha bertanya soal itu, malah dipotong oleh majelis hakim dengan alasan bukan bidang saya. Tapi saya pilih diam meskipun sebenarnya saya merasa sangat menguasai, kalau boleh sombong, saya ini Tarzan nya,” ungkapnya sembari tersenyum lebar.

Pungusaha kembang api ini mengungkapkan jika dirinya memang merasa kurang menguasai teknis jika dibandingkan dengan para penangkar. “Tetapi jika bicara secara global artinya tentang semua satwa (apapun jenisnya) saya sangat paham, makanya selama ini saya dikenal sebagai pemerhati,” ungkapnya.

Ditanya soal kasus yang menjerat Lau Djin Ai alias Kristin oleh media ini, Singky menjawab singkat yakni “salah prosedur”. Alasannya, soal ijin penangkaran yang mati itu menjadi ranah BKSDA, bukan ranah Polisi, kecuali ada unsur pidananya. Tetapi faktanya dikasus Ibu Kristin belum terbukti ada unsur pidananya.

“Kalaupun ada unsur pidananya, BKSDA lah yang menyerahkan kasusnya ke Polisi. Tapi yang terjadi di kasus ini, Polisi menangkap, ijinnya diketahui mati, lantas digoreng, dan barang buktinya disita, lantas disidangkan,” jawabnya.

Menurut Singky, terkait ijin penangkaran tidak bisa lepas dari laporan bulanan, triwulan, dan tahunan, kemudian di BAP. Artinya, semua laporan itu tidak bisa diterima begitu saja, karena pihak BKSDA juga harus ke lokasi untuk mengetahui langsung secara fisik soal apa yang dilaporkan.

“BAP dari BKSDA ini menjadi sangat penting, karena laporan soal hasil telur, apalagi soal kematian satwa itu wajib diketahui penyebabnya. Nah, pada saat proses BAP itu tentu pihak BKSDA mengetahui, apakah ijinnya masih berlaku atau sudah kadaluwarsa (mati), disinilah fungsi pengawasannya,” terangnya.

Maka, lanjut Singky, kalau surat ijinnya mati sampai dalam kurun waktu 3 tahun, tentu dirinya merasa boleh menduga jika tempat penangkaran ini tidak pernah di BAP sehingga BKSDA tidak mengetahui, maka disini ada tindakan pembiaran.

“Kalau kasusnya pembiaran, maka kalau mau diarahkan ke pidana, sayogyanya bukan ke penangkarnya, karena sesuai UU no 5 tahun 90 pasal 37 dicantumkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban melakukan pembinaan peran serta masyarakat,” paparnya.

Singky juga sepakat dan mengakui jika pemilik penangkaran dianggap lalai, karena ijinnya mati sampai 3 tahun lamanya.

“Tetapi kalau soal pidana, seharusnya mengarah ke BKSDA, karena institusi ini ditugaskan dan digaji oleh negara untuk melakukan semua itu. Penangkar itu adalah mitra yang wajib di ayomi keberadaannya,” tandasnya.

Namun Singky juga menyatakan jika kehadiran dirinya di persidangan tidak untuk membela terdakwa, karena memang bukan menjadi ranah dan urusannya.

“Saya datang sebagai pemerhati dan didaulat sebagai saksi ahli hanya untuk meluruskan yang bengkok. Kalau kasus ini diteruskan, ini preseden buruk bagi para penangkar, karena merasa usahanya mulai terancam pidana sehingga sekarang sudah mulai panik,” akunya.

Untuk itu, Singky berharap ada seminar yang mengangkat tema soal konservasi dengan melibatkan semua unsur, yakni pemerintah (Kementrian KLH), penangkar dan pemerhati.

“Pemahaman soal konservasi tidak bisa sepenggal-sepenggal, tetapi harus utuh. Konservasi itu pelestarian, caranya dikembang biakkan, maka dilakukan penangkaran. Dalam kasus ini, saya tidak menyalahkan Polisi atau Jaksa jika belum bisa memahami secara utuh soal konservasi, lha wong petugas yang ada instansi terkait saja juga tidak bisa,” pungkasnya. (q cox).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *