Politik

Nilai Penjual Rujak Harga Rp 60 Ribu Tidak Salah, Legislator Surabaya: Tidak Ada Aturannya

15
×

Nilai Penjual Rujak Harga Rp 60 Ribu Tidak Salah, Legislator Surabaya: Tidak Ada Aturannya

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Adi Sutarwijono Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya yang membidangi Hukum dan Pemerintahan, mengatakan bahwa sampai saat ini Pemerintah tidak mengatur soal harga produk kuliner, karena diserahkan ke pasar.

Oleh karenanya, Adi Sutarwijono turut prihatin dengan viralnya rekaman video penjual rujak cingur dengan harga Rp 60 ribu di wilayah Gununganyar Surabaya, karena hal ini menyangkut kelangsungan hidup UMKM.

“Pemerintah tidak pernah mengurusi harga pasar, apalagi video yang viral itu menyangkut UMKM. Harga kuliner produk UMKM itu adalah produk pasar yang memang tidak perlu diatur oleh pemerintah,” ucapnya kepada media ini. Rabu (12/06/2019)

Oleh karenanya Awi-sapaan akrab Adi Sutarwijono menyesalkan tindakan sejumlah aparat yang ramai-ramai mendatangi kedai rujak cingur milik Ibu Marmila, hanya karena merespon viralnya video yang disebar oleh netizen di medsos.

“Saya sangat menyesalkan tindakan sejumlah aparat mendatangi penjual rujak itu, karena tidak ada kaitannya dengan harga pasar produk UMKM dan tidak ada masalah. Artinya tidak ada pelanggaran di dalamnya,” tandasnya.

Sebelumnya berbagai media memuat pemberitaan soal Marmila penjual rujak cingur Rp 60 ribu mengaku heran dengan banyak komentar mengenai dirinya di medsos usai dirinya viral.

Menurutnya, salah satu keputusannya mematok harga tinggi rujaknya karena hal itu disebabkan bahan-bahan rujak mahal. Sedangkan porsi yang ditawarkan adalah ukuran jumbo.

“Kalau memang rujak cingur itu bahannya banyak. Kacang sekarang mahal, terutama cingur itu sekarang mahal, petis mahal dan buah-buahan juga mahal semua. Sekarang itu di pasar itu nggak ada barang yang murah,” kata Marmila saat ditemui detikcom, Senin (10/6/2019).

Menurut Marmila, ia bisa saja menjual rujak cingur dengan harga sekitar Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu. Namun itu berarti akan berimbas pada rasa karena ada pengurangan dan penurunan kualitas bahan. Sebab dalam prinsip ekonomi yang diyakininya ada rasa ada harga.

“Bisa jual murah tapi kualitasnya beda. Kalau kita jual harga Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu tapi petis rujaknya itu pahit. Kita nggak mau yang murah-murah. Kalau murah nggak enak akhirnya rujaknya nggak laku, orang juga nggak akan kembali. Orang itu jualan ada harga ada rasa,” tutur Marmila.

Selain mahal, bahan yang dipakainya juga harus disesuaikan dengan porsi jumbo yang dibuatnya. Jadi, ia menganggap wajar jika rujaknya dipatok tinggi.

“Saya bikin rujak cingur minim cingurnya seperempat sampai setengah kilo satu porsi itu. Dan buah-buahannya itu lengkap kalau minta campur. Kalau orang minta matangan itu ya cuma lontong, sayur, tahu, tempe dan bendoyo. Itu bedanya dengan yang rujak cingur campur,” ujarnya.

“Buah itu mulai ketimun, kedondong, bengkoang, nanas, belimbing terus mangga itu ikut semua biasanya di rujak cingur campur. Tapi baik campur atau matangan harganya sama saya jual Rp 60 ribu,” imbuh perempuan 43 tahun itu.

Selama berjualan 20 tahun ini juga, lanjut Marmila, baru kali ini ia mengaku mendapat komplain. Namun komplain itu pun baru datang itu pun dari media sosial dari empat pembeli isengnya.

“Saya jujur saja selama jualan selama ini nggak pernah dapat komplain baru kali ini. Langganan saya ya selalu kembali. Ndak ada yang komen seperti empat anak iseng itu. Yang baru habis Rp 315 ribu saja komennya satu dunia,”

“Memang nggak pernah kuliner itu orang. Baru harga Rp 60 ribu yang harga Rp 100 ribu saja ada kok. Itu cuma orang nggak pernah pegang uang saja dan pergi kuliner. Lain kali saran saya kalau komen langsung saja ke saya nggak usah terus direkam terus dimasuk-masukin facebook atau media sosial,” pungkas Marmila. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *