Jatim Raya

Putusan Hakim Dinilai SESAT, Ini Catatan Singky Soewadji Terkait Kasus Terdakwa Kristin

15
×

Putusan Hakim Dinilai SESAT, Ini Catatan Singky Soewadji Terkait Kasus Terdakwa Kristin

Sebarkan artikel ini

JEMBER (Suarapubliknews) – Di tingkat pengadilan pertama yakni Pengadilan Negeri Jember, Majelis Hakim telah memberikan keputusan jika Lau Djin Ai alias Kristin divonis bersalah dan diganjar dengan hukuman 1 tahun penjara plus denda Rp 50 Juta rupiah subsider kurungan 3 bulan.

Singky Soewadji pengamat satwa liar asal Surabaya yang juga koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI), mengaku sangat kecewa sekaligus geram dengan keputusan tersebut karena pertimbangan hukumnya adalah ijin yang mati, bukan soal tindak pidana perdagangan satwa ilegal yang memang tidak terbukti di fakta persidangan.

Berikut adalah catatan panjang Singky Soewadji terkait proses hukum terdakwa Kristin yang dikirim ke redaksi media ini, untuk disebarluaskan,:

Dalam kasus CV Bintang Terang, membuktikan bahwa negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah gagal menjalankan fungsi konservasi yang hakiki.

Awalnya CV Bintang Terang ijin tangkarnya yang mati, ijin edar masih berlaku, apakah bisa disalahkan, apa lagi dipidanakan ?

Tentu tidak ! Karena tanpa memperpanjang ijin tangkar, penangkar masih boleh mengedarkan, karena ijin edarnya masih berlaku.

Kalau penangkar memang ingin pensiun misalnya, cuci gudang dijual semua hasil tangkarannya masih boleh, karena punya ijin edar yang masih berlaku.

Paling mendasar adalah, tidak ada satupun aturan maupun undang-undang yang menyatakan bahwa ijin tangkar mati adalah pidana.

Entah belajar dari mana, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) KLHK bernama Niken Wuri Handayani S.Si. M.Si yang diutus resmi dari Direktorat Konservasi dan Keragaman Hayati (KKH) memberikan kesaksian sesat, bahwa ijin tangkar mati adalah pidana ?

Dalam hal ini Niken Wuri Handayani S.Si. M.Si bisa dipidanakan, karena memberikan kesaksian palsu dalam persidangan, dan pemberi serta yang menandatangani surat tugas juga harus diperiksa. Karena ditengarai ada motif terselubung dibalik itu.

Justru saat menteri KLHK melepas liarkan Kakatua Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango itu adalah pidana, karena bukan habitatnya.

Saat itu dimana para pejabat dan staf KLHK termasuk Gakkum ? Kalau kita mau cari pembenaran, ibarat ayam dan telur, mana duluan ada ?

Yang pasti dan tidak dapat dipungkiri adalah, penangkar termasuk Lembaga Konservasi (LK) wajib membuat laporan bulanan, laporan Triwulan-an dan laporan tahunan.

Sebaliknya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim juga mempunyai kewajiban membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Ijin tangkar CV Bintang Terang yang mati selama tiga tahun kalau mau disalahkan, justru kesalahan terbesar ada pada pihak BKSDA (untuk Jatim BBKSDA karena Balai Besar).

Dan untuk sebuah Balai Besar dijabat oleh pejabat eselon dua setara Direktur, bahkan setara Bupati atau walikota, namun hebatnya, wilayahnya setara Gubernur.

Jadi, sangat ironis sekali kasus CV Bintang Terang bisa terjadi ijin mati selama tiga tahun, dan ini terjadi pembiaran, justru bisa di pidanakan.

Suka tidak suka, dan tidak bisa dihindari, BBKSDA Jatim adalah sebagai top management di CV. Bintang Terang, karena pemerintah dalam hal ini KLHK sudah semestinya sebagai regulator dan pengawas dari usaha penangkaran yang diijinkan oleh pemerintah.

Tugas, kewajiban dan larangan BBKSDA sudah tercantum dalam Undang-Undang (U.U) dan Peraturan Penerintah (P.P) yang ada, yaitu UU. No. 5 tahun 1990, PP. No. 8 tahun 1999 dan UU. No. 18 tahun 2013.

Saat aparat kepolisian dengan Gakkum datang pertama kali ke CV Bintang Terang, sebenarnya BBKSDA Jatim sudah bisa mencegah untuk dibawa ke ranah pidana, karena masalah ijin mati dan pendataan adalah ranah BBKSDA dan ini masalah administrasi.

Pembiaran ke dua kembali terjadi, sehingga pemilik CV Bintang Terang diseret ke arah pidana, di tambah dengan tuduhan perdagangan ilegal, yang akhirnya tidak terbukti dan dicabut BAP-nya oleh penyidik Polri di pengadilan saat sidang.

Apa lagi, telah dilakukan penyitaan sejumlah dokumen tanpa seijin pengadilan sesuai aturan dan U.U.

Kesalahan BBKSDA Jatim yang ke tiga, yang sangat fatal adalah, ada 35 ekor burung indukan pilihan, yang sengaja dipilih secara khusus oleh utusan Jatim Park yang datang ke lokasi CV Bintang Terang untuk datang memilih, dan 35 ekor indukan Kakatua Raja (Probosciger Aterrimus) diserahkan ke Jatim Park dengan status di titipkan.

Ini sangat tidak wajar, dan ada apa ? Yang pasti ada unsur pidananya.

Walaupun ada aturan dan dasar hukumnya, satwa liar adalah milik negara, keberadaannya di sebuah LK adalah berstatus titipan dan boleh dilakukan pemanfaatan, tapi harus sesuai dengan peraturan dan U.U, tidak bisa serta merta.

Dalam kasus CV Bintang Terang, bisa kita anomalikan, Gakkum sedang berburu di dalam sebuah Kebun Binatang, tinggal pilih satwa apa yang hendak diburu, tinggal datangi kandangnya ?

Kenapa tidak membidik para pejabat tinggi negara, termasuk menterinya sendiri yang mengoleksi satwa liar, yang justru diberi dan mendapatkan ijin resmi ?

Dalam dunia konservasi, kita semua menjunjung tinggi masalah Ethic and Walfare.

Dimana letak Ethic, etika seorang pejabat tinggi negara, apa lagi menteri instansi terkait mrmelihara dan mengoleksi satwa liar yang di lindungi, walaupun akhirnya memiliki ijin ?

CV Bintang Terang telah ada sejak 15 tahun lalu, sudah pernah melakukan perpanjangan ijin, telah memiliki ijin edar, bahkan ijin eksport, sudah mendapat aspresiasi oleh dua orang Dirjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA), yang sekarang menjadi Kelestarian Sumber Daya Alam dan Ekisistem (KSDAE). yang pernah datang meninjau CV Bintang Terang.

Jadi, logikanya burung di CV Bintang Terang sudah lebih dari generasi ke dua (F2) sejak sepuluh tahun lalu, hingga terbit ijin edar, apa lagi juga memiliki ijin eksport.

Sejak kasus ini terjadi bulan Mei 2018 lalu, semua ijin mati sesuai masa berlakunya, dan mulai dirintis dan merintis ijin baru dengan ketentuan baru pula oleh CV Bintang Terang.

Inikah Nawacita presiden Jokowi yang ingin mempermudah dan memangkas semua jalur birokrasi ?

Tentunya tidak ! Ini hanya kesalahan Jokowi dalam memilih seorang menteri sebagai pembantunya dalam kabinet menangani KLHK.

Kenapa kasus Jember menarik perhatian para tokoh senior dunia konservasi, bahkan bersedia luangkan waktu turun gunung datang ke Jember ?

Karena prihatin carut marutnya dunia konservasi di era Jokowi dan malu akan kinerja para yunior di KLHK menjalankan kebijaksanaan tentang konservasi.

Ini catatan penting dan warning bagi elite partai, Jokowi seorang Insinyur kehutanan, bila salah memilih menteri, khususnya di departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang harus dipisah kembali, akibatnya fatal seperti yang terjadi selama periode kepemimpinannya.

Kedepan, selain kedua departemen ini harus dipisah kembali, menterinya harus dari kalangan sipil, profesional akademisi, tidak boleh kader partai.

Ibarat bola, kasus CV Bintang Terang berada di tangan Dirjen KSDAE, bola ini terserah akan dilempar kemana? Karena ini bola panas, kalau tidak dipadamkan, akan menjadi bola liar yang akan lari kemana-mana.

Lemparan bijaksana adalah, tidak melihat kebelakang, tapi memperbaiki ke depan dan mengintruksikan Direktur KKH agar segera memerintahkan BBKSDA Jatim, agar segera menerbitkan rekomendasi untuk CV Bintang Terang, guna mendapatkan semua perijinan, semudah pejabat tinggi negara mendapatkan ijin walau tidak memiliki kontribusi terhadap dunia konservasi.

Membentuk team indeprnden untuk mendata, merapikan serta menginventarisir burung di CV Bintang Terang.

Status satwa (burung) biar tetap di CV Bintang Terang, tetap disita hingga ijin terbit, dan dibawah pengawasan BBKSDA Jatim.

Namun CV Bintang Terang diberi hak merawat dan mengelolah kembali, maka dengan demikian masalah Ethic and Walfare terhadap satwa liar jadi terpenuhi.

Bola liar akan terjadi bila ada perlawanan dari pihak CV Bintang Terang melalui kuasa hukumnya yang tentu akan mendapat back up penuh dari Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).

APECSI bukan semua organisasi, tapi berupa wadah atau forum para pecinta satwa liar Indonesia yang berada dan berdomisili di seluruh dunia.

Masing-nasing terdiri dari berbagai kalangan, golongan, praktisi, aktivis, akademisi dan lain sebagainya.

Jadi, impact kasus ini akan menjadi dampak negatif bagi bangsa dan negara, dan menjadi isue internasional, terutama bagi dunia konservasi kita, bila tidak disikapi dengan bijaksana.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua elemen masyarakat, terutama pecinta konservasi, khususnya pejabat terkait.

Salam Lestari ! Kau Peduli, Aku Lestari
Surabaya, Rabu 3 Maret 2019
Singky Soewadji – Pemerhati Satwa Liar – Koordinator APECSI. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *