Jatim Raya

Tak Bisa Bicara Dukungan, KAHMI Jatim Pilih Sikap “Netral” di Pilgub 2018

9
×

Tak Bisa Bicara Dukungan, KAHMI Jatim Pilih Sikap “Netral” di Pilgub 2018

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Ketua Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Jawa Timur, Akmal Boedianto mengaku tidak bisa membawa organisasi KAHMI untuk dukung mendukung salah satu Cagub yang akan maju di Pilgub Jatim 2018.

“Prinsipnya itu belum bisa dukung mendukung karena aspirasi KAHMI tersebar bukan hanya di Gus Ipul tapi juga di La Nyalla. Apalagi warga KAHMI juga tersebar di berbagai parpol, sehingga sikap KAHMI di Pilgub Jatim adalah netral,” ujar Akmal Boedianto di sela kegiatan Refleksi Akhir Tahun 2017, Jum’at (22/12/2017) kemarin.

Mantan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemprov Jatim ini menegaskan bahwa warga KAHMI sudah dididik untuk independen.

“Artinya soal pilihan politik maupun Pilgub Jatim itu akan diserahkan ke masing-masing warga, dan saya belum bisa memonitor kebanyakan warga KAHMI condong mendukung siapa,” dalih Akmal Boedianto.

Menurut Akmal kegiatan Refleksi Akhir Tahun ini merupakan agenda tahunan dengan tema menyangkut ekonomi, politik dan hukum serta berkembang ke banyak aspek sebagai wujud dari eksplorasi satu tahun kita melihat dan membaca peta Jawa Timur.

“Tujuannya untuk memberi kontribusi baik pemikiran, wawasan maupun aktifitas warga KAHMI kepada masyarakat terkait persoalan yang terjadi di Jatim selama tahun 2017,” ungkapnya.

Secara khusus, Akmal juga mengingatkan bahwa di tahun politik 2018 mendatang akan mempengaruhi banyak aspek, seperti kasus hukum tindak pidana pemilu maupun calon yang akan maju di pemilu akan naik karena persiangan kontestasi pemilu kerang menghalalkan segala cara supaya bisa menang dalam elektoral.

Sementara itu, Didik Farchan Kajari Surabaya sebagai salah satu narasumber mengatakan bahwa budaya korupsi sudah sampai lapisan masyarakat yang paling bawah sehingga sulit untuk diberantas. Namun pihaknya optimis korupsi bisa diminimalisir dengan adanya sistem yang baik.

“Sekarang ini tidak bisa hanya mengandalkan moral dalam memerangi korupsi. Justru yang efektif adalah membangun sistem yang transparan supaya bisa meminimalisir praktek korupsi dan intens melakukan pendampingan penyalahgunaan uang negara,” jelasnya.

Di contohkan dengan adanya e-tilang dan sidang online, kasus suap maupun korupsi di kepolisian dan kejaksaan bisa diminimalisir karena masyarakat bisa langsung melihat hasil putusan sidang dan dendanya.

“Mereka bisa langsung bisa membayar melalui berbagai bank lalu tinggal menyerahkan bukti pembayaran. Bahkan mereka tak usah datang ke Kejaksaan karena kami menyediakan delivery tilang yang bisa langsung diantar ke rumah tapi biaya gojeknya ditanggung pemilik,” ungkap Didik.

Ia juga mengimbau masyarakat hati-hati dalam membuat status di media sosial jangan sampai mengarah pada ujaran kebencian karena bisa tergolong cyber crime. Jatim, lanjut Didik juga masih menjadi prioritas KPK untuk diawasi sehingga para pejabat dalam bekerja jangan coba-coba melanggar.

“Khusus di tahun politik 2018 akan banyak korban dari UU Pemilu, khususnya kasus Money Politic. Karena itu penyelenggara pemilu maupun pasangan calon dan tim pemenangannya jangan sampai melanggar aturan,” harapnya.

Masih di tempat yang sama, Priyatmoko pengamat politik dari Unair Surabaya mengatakan bahwa politik Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia mendapat tekanan hebat pada tiga hal, yaitu tekanan ekonomi kapitalis pasar (semua jadi komoditas), liberalisme dan demokrasi, serta tekanan agama.

Ironisnya lagi reformasi yang dilakukan Indonesia tak dimulai dengan membangun sistem tapi langsung mempercepat pemilu 1999 sehingga muncul banyak partai 48 parpol dan yang menang orde baru sehingga yang mengamandemen UUD 45 adalah orang-orang lama.

“Akibatnya tak ada upaya penyederhanaan jumlah parpol sehingga keinginan bentuk parpol selalu ada, dan pelaku politik tak terkonsolidasi (tersebar),” beber Priyatmoko

Di sisi lain, pesta demokrasi melalui pemilu langsung sudah terpengaruh pasar, bahkan ideologi parpol menjadi kabur karena parpol cenderung mengikuti keinginan pemilih yang bersikap nomor piro wani piro (NPWP).

“Ketokohan calon lebih penting daripada sistem, bahkan pengurus parpol kehilangan kekuatan sehingga pragmatisme politik jadi berkembang di parpol dan pemilih,” jelas Priyatmoko.

Ia menilai kompetsisi pemilu di Indonesia semakin kejam karena kontestasi sangat tinggi biayanya dan jumlah pemilu semakin banyak.

“Arah negara juga semakin tak jelas karena tak miliki GBHN. Terbukti, sejak reformasi jumlah Perppu hampir mencapai 40 Perppu atau semakin banyak padahal Perppu itu dibuat karena kondisi darurat,” katanya.

Imron Mawardi narasumber lainnya menambahkan bahwa ekonomi tak bisa dilepaskan dari politik sebab ekonomi bisa jadi alat politik. Persoalan yang akan dihadapi Jatim ke depan diantanya terkait masalah kemiskinan, ketersediaan pangan, dan lapangan pekerjaan.

“Indonesia termasuk negara berkembang sebaiknya jangan fokus pada pertumbuhan ekonomi tapi pada pemerataan sebab jika penduduk miskin turun pertumbuhan otomatis akan tumbuh. Makanya walaupun pertumbuhan Jatim diatas rata-rata nasional tapi kemiskinannya juga tertinggi karena disparitas masih mencolok,” pungka Imam Mawardi. (q cox, U)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *