SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Suasana hangat dan penuh antusiasme mewarnai meet and greet film *Perang Kota* yang digelar di Tunjungan Plaza. Acara ini menghadirkan sutradara Mouly Surya bersama para pemeran utama, Ariel Tatum dan Chicco Jerikho, yang berbagi cerita di balik layar film yang mengangkat kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan gaya klasik dan epik.
Dalam kesempatan tersebut, Mouly Surya mengungkapkan bahwa proses produksi *Perang Kota* merupakan pengalaman paling kompleks dalam karier penyutradaraannya. “Sebelumnya saya membuat film dengan skala produksi yang relatif lebih kecil. Nah, ini berbeda. Untuk berkembang ke sebuah film klasik dan epik seperti *Perang Kota*, tentunya ada banyak dukungan yang saya butuhkan,” ujarnya.
Film ini menonjolkan kekuatan aksi berlatar suasana kota Jakarta pada masa awal kemerdekaan, dengan fokus pada drama keluarga dan percintaan yang pelik antara karakter Guru Isa (Chicco Jerikho), Fatimah (Ariel Tatum), dan Hazil (Jerome Kurnia). Mouly menjelaskan bahwa judul *Perang Kota* bukanlah idenya sendiri, melainkan diambil dari istilah yang ditemukan dalam riset bersama beberapa sejarawan. “Istilah itu menggambarkan bagaimana Jakarta berkecamuk dalam masa revolusi, seolah-olah sedang dalam ‘perang kota’,” jelasnya.
Mouly juga menegaskan bahwa film ini bukan sekadar bercerita tentang sejarah, melainkan ingin membagikan perspektif tentang perjuangan, keseharian, dan cinta di masa itu yang menurutnya tetap relevan dengan kehidupan saat ini. “Lewat tokoh Guru Isa, Fatimah, dan Hazil, saya ingin menggambarkan daya juang, dinamika persahabatan, dan percintaan anak muda di Jakarta yang masih termanifestasi dalam realitas hari ini,” tambahnya.
Meski berlatar Jakarta, proses syuting *Perang Kota* dilakukan di beberapa kota di Indonesia, seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Ambarawa. Mouly memilih lokasi-lokasi ini karena dianggap paling cocok untuk menggambarkan Jakarta tempo dulu. “Setnya cukup urban, keseharian, intens. Ada ketegangan yang terjadi, semuanya terjadi di tengah Jakarta, tepatnya di Jalan Jaksa yang dulu mungkin jalanan paling hits,” terangnya.
Film ini juga menggabungkan penggunaan set nyata dengan efek visual yang dikerjakan oleh kolaborator dari berbagai negara, termasuk Amerika, Belanda, dan Prancis. Proses produksi dan pasca produksi memakan waktu sekitar lima tahun, menandakan betapa rumit dan detailnya pengerjaan film ini.
Ariel Tatum dan Chicco Jerikho yang hadir dalam acara tersebut juga berbagi pengalaman mereka dalam memerankan karakter yang penuh konflik dan emosi. “Peran ini menantang sekaligus memberikan kesempatan untuk mendalami sisi kemanusiaan di masa revolusi,” kata Chicco.
“Perang Kota” menyajikan interpretasi kontemporer untuk memaknai nuansa vintage Jakarta dengan lanskap bangunan tuanya namun dipenuhi oleh karakter-karakter yang dinamis dengan gaya busananya yang modis. Jakarta era ‘40-an ditampilkan dengan kontras penuh warna dan kota yang muram, menunjukkan suasana kota yang penuh gejolak di tengah peperangan.
Setahun setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi medan perang antara pejuang kemerdekaan dan tentara Sekutu yang ditunggangi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Razia, penangkapan, penembakan, hingga bakar-bakaran. Situasi begitu mencekam, sampai-sampai ibukota pindah darurat ke Yogyakarta.
Perang terjadi di tengah kota. Pertempuran kecil di mana-mana jadi pemandangan sehari-hari. Banyak keluarga kehilangan anggota keluarga mereka, sementara hidup harus tetap berjalan. Ekonomi hancur, bahan makanan susah didapat, harga melambung tinggi.
Di tengah semua itu, Isa (Chicco Jerikho) berjuang untuk keseharian di kota yang terus berperang, Fatimah (Ariel Tatum) bertahan dari perang batinnya, dan Hazil (Jerome Kurnia) bersikeras dengan semangat perjuangannya. Ketiga karakter utama ini menampilkan intrik yang tak hanya berkelindan di antara kekacauan kota, namun juga batin yang berkecamuk.
Fatimah mendamba kehangatan dari Isa, sementara Isa, yang terkena dampak trauma, tak bisa memberikan kepuasan batin bagi istrinya. Hazil, pemuda yang tengah bergairah menjadi pelampiasan hasrat Fatimah. Mouly Surya meramu intrik cinta segitiga dengan perjuangan dan pengkhianatan dengan lugas namun tetap luwes.
Pergerakan kamera dari sinematografer peraih empat nominasi Sinematografi Terbaik FFI Roy Lolang juga membawa visual konflik batin dan perang menjadi sebuah film periodik yang memberikan interpretasi segar. Dengan menggunakan rasio aspek 4:3 yang berfungsi sebagai perangkat estetika sekaligus naratif—menambah kesan klasik dan bentuk yang hampir persegi menciptakan suasana intim dan fokus pada karakter. (q cox, tama dini)