SURABAYA (Suarapubliknews) — Komisi C DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menindaklanjuti aduan warga Apartemen Puncak Kertajaya terkait persoalan yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun.
Rapat yang digelar pada Rabu (2/7/2025) itu dipimpin langsung Ketua Komisi C, Eri Irawan, dan dihadiri perwakilan Lurah Keputih, Camat Sukolilo, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP), Bagian Hukum Pemkot Surabaya, dan pihak pengelola apartemen.
Perwakilan warga, Sherly Sutejo, dengan nada tegas menyampaikan keluhannya. Ia menjelaskan bahwa warga telah berupaya memenuhi syarat administrasi sejak Mei 2025, namun selalu mendapatkan pengembalian berkas dengan alasan kekurangan dokumen teknis dan catatan administrasi.
Menurutnya, sertifikat laik fungsi (SLF) dan akta pemisahan (AJB) yang menjadi hak warga tidak kunjung rampung meski apartemen tersebut sudah berdiri lebih dari 15 tahun.
“Kami ini sebagai pemilik yang sudah melunasi apartemen, tapi sampai sekarang tidak pegang SHM rumah susun. Sudah seperti buta, tidak tahu progress-nya sampai mana,” keluhnya.
Masalah lain yang mencuat adalah kebijakan parkir yang dikeluhkan warga. Shania, perwakilan pengelola Apartemen Puncak Kertajaya, mengakui bahwa pihaknya menetapkan tarif parkir tiga bulan di muka bagi pemilik dan satu bulan bagi penyewa.
Ia beralasan kebijakan ini diberlakukan karena banyak kendaraan yang mangkrak di area parkir, sehingga mengganggu estetika dan ketersediaan lahan. Namun kebijakan ini justru menjadi beban tambahan bagi penghuni.
Anggota Komisi C, Siti Maryam, menilai bahwa alasan pengelola terlalu mengada-ada. Ia menyoroti ketidakwajaran sistem pembayaran parkir yang dibayar di muka dan mempertanyakan motif di balik penerapan sistem tersebut.
“Kalau parkir saja jadi masalah, padahal warga sudah menunggu hak sertifikat belasan tahun, ini sangat tidak masuk akal,” tegasnya.
Ketua Komisi C, Eri Irawan, membeberkan fakta mencengangkan bahwa bukan hanya Apartemen Puncak Kertajaya yang bermasalah, tetapi seluruh apartemen di bawah Grup Puncak mengalami kasus serupa.
Diantaranya, Puncak Kertajaya, Puncak Dharma Usada, Puncak Permai, Puncak Bukit Dharma Golf, hingga Puncak CBD, yang kesemuanya tidak memiliki AJB dan SHM rumah susun. Ribuan warga hanya memegang perjanjian jual beli (PPJB) tanpa kepastian hukum atas kepemilikan unit mereka.
Eri menegaskan bahwa Komisi C memberi tenggat waktu kepada pihak pengelola untuk segera menyelesaikan pemenuhan SLF bersyarat dalam waktu 30 hari, hingga 1 Agustus 2025.
Setelah itu, proses pertelaan hingga pengesahan akta pemisahan harus segera dituntaskan agar warga bisa mendapatkan sertifikat hak milik rumah susun (SHM RS) yang sah dan diakui negara.
Tidak hanya itu, Eri juga membuka potensi adanya pelanggaran pajak parkir. Dari hasil pengecekan, jumlah kapasitas parkir mencapai 500 kendaraan. Namun, data pembayaran pajaknya diduga tidak sesuai dengan potensi yang seharusnya mencapai lebih dari Rp3,7 juta per bulan.
Untuk tu, Komisi C meminta Bapenda melakukan pemeriksaan mendalam terkait pembayaran pajak parkir ini, bahkan akan melibatkan kejaksaan jika ditemukan indikasi kerugian negara.
Eri menambahkan, pekan depan Komisi C akan membawa kasus ini ke Kementerian PUPR dan Kementerian Perumahan Rakyat di Jakarta. Langkah ini diambil untuk menekan pengembang dan mencari solusi hukum atas permasalahan yang sudah berlarut-larut dan merugikan ribuan warga. (q cox, Fred)