SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Sawung Dance Festival kembali digelar tahun ini dengan mengangkat tema “Tremor: Bodies at The Edge of Change” (Getaran Tubuh di Ambang Perubahan). Festival tari kontemporer yang sudah memasuki edisi ke-6 ini berlangsung akhir pekan lalu.
Direktur Sawung Dance, Sekar Alit mengatakan tema Tremor dipilih sebagai refleksi atas kegelisahan zaman: krisis iklim, konflik sosial-politik, migrasi, hingga percepatan teknologi. Tubuh, dalam konteks ini, dipandang sebagai ruang resonansi yang paling jujur—merekam, menolak, hingga bergetar di tengah perubahan.
Festival ini ingin menghadirkan tubuh bukan sekadar medium pertunjukan, tetapi juga sebagai penggugah kesadaran kolektif. “Getaran adalah gejala dari sesuatu yang sedang berlangsung atau akan datang. Tubuh-tubuh kita sedang menanggung transisi—antara krisis dan harapan,” katanya.
Sebagai satu-satunya festival tari kontemporer di Surabaya dan Jawa Timur sejak pertama kali digelar tahun 2015, Sawung Dance Festival konsisten menjadi ruang ekspresi dan perjumpaan koreografer muda. Tahun ini, sejumlah program unggulan kembali dihadirkan.
Salah satunya Karya Bertumbuh, sebuah residensi yang memberi ruang pengembangan karya bagi koreografer muda di Jawa Timur. Empat koreografer terpilih tahun ini adalah Adam Mustofa (Ponorogo), Angga I Tirta (Surabaya), Mistahul Jannah (Banyuwangi), dan Nia Anggraini (Surabaya). Mereka akan menampilkan karya hasil pendampingan bersama koreografer Hari Gulur.
Festival ini juga menghadirkan penampilan Hartati, koreografer senior dari Jakarta yang akan tampil dalam format lecture performance, serta Ari Ersandi, koreografer asal Lampung. Keduanya tak hanya tampil di panggung, tetapi juga membuka kelas workshop untuk berbagi pengalaman dengan penari dan koreografer muda di Surabaya.
Program lain adalah Residensi Reset Artistik, yang mempertemukan praktisi seni dari berbagai kota di Jawa Timur. Dalam program ini, para peserta menelaah praktik artistik sepanjang festival dan mengaitkannya dengan pengalaman komunitas seni di daerah masing-masing.
Lebih dari sekadar pertunjukan, Sawung Dance Festival 2025 hadir sebagai ruang lintas budaya yang merayakan tubuh sebagai pusat perubahan—sebuah medan getar yang merefleksikan krisis sekaligus merawat kemungkinan baru dalam seni dan kehidupan. (q cox, tama dini)