SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim, bencana alam, hingga keterbatasan sumber daya, dunia arsitektur ditantang untuk merancang bangunan yang tidak hanya indah, tetapi juga tangguh dan adaptif.
Menjawab tantangan tersebut, Program Studi Arsitektur Petra Christian University (PCU) bekerja sama dengan SENVAR (Sustainable Environment Architecture) menjadi tuan rumah 6th ICEA-Senvar 2025, konferensi internasional bertema “Resilient Architecture”, yang digelar di kampus PCU.
Ketua panitia, Aris Budhiyanto, S.T., M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa tema ini diangkat karena kondisi nyata yang dihadapi masyarakat Indonesia. “Kita hidup di negara yang rentan terhadap perubahan iklim, bencana alam, hingga keterbatasan sumber daya. Arsitektur harus bisa beradaptasi dan bertahan menghadapi tantangan tersebut melalui desain berkelanjutan, pemanfaatan material canggih, dan teknik konstruksi inovatif,” ujarnya.
Aris menambahkan, konferensi ini menjadi wadah berbagi ide, penelitian, dan solusi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan ruang hidup yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Konferensi dua tahunan ini menghadirkan pakar internasional, di antaranya Prof. David Sanderson (University of New South Wales Sydney), ahli manajemen bencana yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam membangun ketahanan kota terhadap bencana; Prof. Sri Nastiti N. Ekasiwi (Institut Teknologi Sepuluh Nopember), pakar desain dan penghawaan bangunan tropis yang menyoroti pentingnya ventilasi alami dan teknologi hemat energi; Prof. Heng Chye Kiang (National University of Singapore), yang membahas perencanaan kota berkelanjutan dan tahan bencana; serta Dr. Rully Damayanti (PCU), peneliti yang menyoroti fleksibilitas desain kota dan bangunan untuk menghadapi perubahan sosial dan lingkungan.
Ahli Manajemen Bencana University of New South Wales Sydney, Prof. David Sanderson, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam membangun ketahanan kota terhadap bencana.
“Kita tidak bisa hanya memikirkan teknologi atau infrastruktur. Masyarakat harus menjadi pusat perhatian. Dalam menghadapi bencana seperti banjir atau gempa, keterlibatan warga sangat penting agar solusi yang dihadirkan sesuai dengan kebutuhan mereka,” katanya.
Konferensi ini juga menjadi ajang untuk mempertemukan akademisi, praktisi arsitektur, pemerintah, dan masyarakat guna mengubah cara merancang bangunan agar tidak sekadar berumur panjang, tetapi juga memberi rasa aman dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Selain seminar internasional, acara ini dimeriahkan dengan pameran material, karya mahasiswa, serta talkshow dan demo Urban Sketcher pada Jumat (3/10). Kegiatan tersebut menghadirkan alumni PCU, USK. Jonathan Irwan (angkatan 1998) dan USK. Henry Siswanto (angkatan 1999), yang mengajak mahasiswa untuk berpikir kreatif dalam menciptakan ruang kota yang semakin terbatas namun tetap ramah bagi pelaku usaha kecil.
PIC workshop, Christine Wonoseputro, S.T., M.ASD. mengatakan pihaknya ingin mahasiswa memahami bahwa ruang kota yang semakin mahal harus berpihak kepada manusia. “Seorang arsitek harus mampu mendesain kios UMKM yang hemat ruang, ramah ekonomi, tetapi tetap memiliki karakter yang unik,” ujarnya.
Dengan menghadirkan berbagai perspektif dan solusi inovatif, 6th ICEA-Senvar 2025 tidak hanya menjadi ajang diskusi ilmiah, tetapi juga panggilan bagi dunia arsitektur untuk menjawab kebutuhan masa depan: menciptakan ruang hidup yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. (q cox, tama dini)