SURABAYA (Suarapubliknews) – Merespon aspirasi warga Kedung Cowek yang resah dengan rencana pembangunan Sekolah Rakyat di lahan pertanian produktif, Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (28/10/2025).
Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir, serta dihadiri perwakilan dari Bapenda, Bappedalitbang, dan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pemkot Surabaya.
Dalam forum tersebut, tokoh masyarakat Kedung Cowek, H.M. Husnin Yasin, menyampaikan bahwa warga pada prinsipnya tidak menolak pembangunan Sekolah Rakyat, namun lahan yang direncanakan sebagai lokasi pembangunan merupakan tanah produktif yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga.
“Kami tidak menolak, hanya berharap agar lokasi bisa digeser. Karena lahan itu produktif dan sudah digarap turun-temurun,” ujarnya.
Husnin juga menyinggung kekhawatiran masyarakat terkait potensi alih fungsi lahan yang bisa berdampak pada ketahanan pangan dan kesejahteraan petani setempat. Ia bahkan menyebut adanya indikasi kepentingan lain di balik proyek tersebut.
“Saya curiga, jangan-jangan ada kepentingan investasi di baliknya. Dua bulan lalu ada investor India datang, dan tiba-tiba proyek ini berjalan,” katanya menambahkan.
Senada dengan itu, Ketua RW 01 Kelurahan Kedung Cowek, Pitono, menegaskan bahwa warga mendukung penuh pembangunan Sekolah Rakyat, asalkan tidak mengorbankan lahan produktif.
Menurutnya, masih ada lahan non-produktif di sekitar kawasan tersebut yang bisa dimanfaatkan tanpa mengganggu sektor pertanian. “Warga ini sederhana, hanya ingin tetap bisa bertani. Jangan sampai program ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan terganggu hanya karena salah pilih lokasi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi D, Ajeng Wira Wati, mengatakan agar Pemkot melalui DKPP bisa mencari alternatif lahan lain yang berdekatan dengan lokasi semula. Ia juga mengingatkan agar warga yang terdampak tetap dilibatkan dalam program pemberdayaan.
“Kami harap DKPP bisa mencarikan solusi, misalnya memanfaatkan lahan sekitar dua hektare yang masih tersisa. Anak-anak petani juga bisa diberdayakan melalui program Sekolah Rakyat ini,” kata Ajeng.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dr. Akmarawita Kadir, menegaskan bahwa rapat tersebut bertujuan mencari titik temu antara kepentingan pembangunan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat. Ia mengonfirmasi bahwa lahan yang dipersoalkan merupakan aset milik Pemkot, namun selama ini telah dikelola secara informal oleh warga untuk bercocok tanam.
“Status lahan memang milik Pemkot, tapi warga sudah lama menggarap dan menggantungkan hidupnya dari pertanian di sana. Karena itu, kita minta agar tidak diganggu dulu sampai ada solusi yang jelas,” tegasnya.
dr. Akma menambahkan, pembangunan Sekolah Rakyat direncanakan menempati lahan seluas 5–6 hektare, sementara lahan yang saat ini dikelola warga sekitar 4 hektare. Pihaknya meminta Pemkot mendata ulang dan mempertimbangkan kemungkinan agar sebagian lahan tetap bisa digunakan warga.
“Kalau memang masih ada sisa lahan dua hektare, mungkin bisa tetap dimanfaatkan untuk pertanian,” ujarnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Komisi D mendorong agar Pemkot menyediakan lahan pengganti bagi petani terdampak atau memberi kesempatan bagi mereka bekerja di lingkungan Sekolah Rakyat setelah pembangunan selesai.
“Mereka bisa dilibatkan sebagai tenaga kebersihan, keamanan, atau pengelola taman sekolah. Yang penting, jangan sampai ada warga yang jatuh miskin akibat pembangunan ini,” tutur Akmarawita.
Rapat akhirnya menyepakati bahwa DPRD berjanji mengawal komunikasi antara Pemkot, warga, dan kementerian terkait. Diharapkan, pembangunan Sekolah Rakyat tetap berjalan tanpa mengorbankan mata pencaharian masyarakat Kedung Cowek yang telah lama menjaga produktivitas lahan pertanian di wilayah tersebut. (q cox, Fred)












