SURABAYA (Suarapubliknews) – Media massa berperan penting dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Juga, kini diyakini masih menjadi salah satu referensi utama, bagi warga negara untuk memilih dalam pemilihan umum.
Hal ini dikatakan Charles Meikiansyah Caleg NasDem dari Dapil Jawa Timur IV meliputi Jember-Lumajang, bahwa media masaa juga berguna untuk mencegah kampanye hitam.
“Pemerintah juga harus tegas menyampaikan kepada masyarakat mana berita benar dan tidak benar yang dimuat oleh media, tanpa harus melakukan tindakan membelenggu kebebasan pers,” ucapnya. Selasa (5/03/2019)
Menurut Charles, media juga berperan melakukan diskursus yang bagus, misalnya pemerintah dengan oposisi.
“Lalu bagaimana capaian-capaian yang dihasilkan oleh sebuah pemerintahan dan lain-lain, itu fungsi dan peran media yang melakukan semuanya,” katanya
Ia menilai, media menjadi komunikator yang sangat baik kepada masyarakat. Semua pihak, termasuk yang berkontestasi dalam pemilu, bisa menyampaikan apa yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara khususnya bidang politik.
Diakuinya, bahwa kebebasan media saat ini juga sudah sangat baik dibanding ketika era Orde Baru, namun terhadap media penyebar hoaks dan berita bohong, dikenakan sanksi sosial.
“Tidak masalah, jika pemerintah menyampaikan kepada publik soal pemberitaan yang dinilai tak sesuai fakta. Jadi ada penghargaan tetapi ada juga hukuman buat mereka (yang melanggar UU pers dan perundangan lainnya-red) yang bentuk hukumannya tidak lagi seperti zaman dulu ya dibredel,” tandasnya.
Tetapi, kata Charles, disampaikan juga kepada publik melalui kementerian yang dimiliki bahwa berita yang disebarkan media pelanggar, adalah hoaks.
“Misalnya. Konten-konten pornografi, kekerasan, kebohongan dan penipuan serta lainnya. Pemerintah harus berani untuk kemudian tidak hanya sekedar mensensor tetapi mengusut tuntas siapa pelaku-pelaku utamanya,” ungkapnya.
Terpisah, Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat Hardly Stefano mengatakan, bahwa media harus menjadi lembaga pendidikan politik yang konstruktif bagi masyarakat melalui pemberitaan dan penyiaran.
“Komisi ini berharap ada pemberitaan yang adil, artinya memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta pemilu, berimbang, dan proporsional,” tuturnya.
Menurut Hardly Stefano, proporsional itu tidak hanya menyampaikan peserta pemilu, pilpres saja, tetapi juga bisa mendorong peserta pemilu terkait dengan parpol beserta profil calegnya dan juga anggota DPD.
“Karena Pemilu ini kan yang berkontestasi juga ada parpol, caleg, dan DPD. Mereka harus mendapatkan porsi pemberitaan juga,” jlentrehnya.
Hardly Stefano beralasan bahwa hal tersebut diatas merupakan bagian dari menyampaikan informasi gagasan dan menjadi pendidikan politik.
Dengan begitu, lanjut dia, masyarakat mengetahui rekam jejak para peserta pemilu itu. Jadi kalau pemberitaan barus berimbang dan proporsional. KPI juga mendorong media menjadi penyeimbang informasi supaya masyarakat jangan mengambil dari sosial media.
“Kadang-kadang tidak terverifikasi. Ambilah informasi dari lembaga penyiaran,” tuturnya.
Sementara menurut Ratna Komala anggota Dewan Pers, pengaduan soal berita hoaks yang masuk ke dewan pers semakin merajalela terutama saat mendekati momentum politik.
“Karena itu Dewan pers mengingatkan media agar terus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Media massa punya banyak peran. Salahsatunya ialah memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar,” kata Ratna.
Menurut Ratna, di era digital saat berita bohong dan hoaks begitu cepat menyebar, Dewan Pers mendorong agar media massa harus terus memperkuat diri. Selain wajib mentaati kode etik, media massa juga harus selalu memiliki kesadaran soal perannya sebagai perekat persatuan bangsa.
“Kita ini bangsa beragam. Karena itu media massanya juga harus jadi pemersatu,” paparnya.
Di kesempatan lain, Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menyadari masih ada beberapa media tidak berimbang dalam penyampaian informasi. Hal itu tentu harus dikonfirmasi ke Dewan Pers dan KIP.
Kominfo juga memiliki tim yang melakukan pemantauan terhadap media sosial, yang menggunakan mesin pengais konten yang bekerja 24 jam. Tim itu didukung oleh 100 orang tim verifikator.
“Mereka melakukan pemantauan secara menerus apa percakapan orang di medsos. Apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau sudah melenceng dari UU ITE,” pungkasnya. (q cox)