Nasional

Ketika Budayawan Berkumpul di sela Kongres PDIP

103
×

Ketika Budayawan Berkumpul di sela Kongres PDIP

Sebarkan artikel ini

DENPASAR-BALI (Suarapubliknews) – Alunan kecapi suling dari seniman Sunda Wiwitan di meeting room 2, Grand Palace Hotel Sanur, Bali, Jumat (9/8/2019) sore menandai dimulainya diskusi kebudayaan. Di tempat berjarak sekira 2 kilometer dari arena Kongres V PDI Perjuangan ini, para budayawan berkumpul merumuskan strategi: Merawat Negara dengan Jalan Kebudayaan.

“Acara ini spontan saja. Ada teman-teman (budayawan) yang kebetulan sama-sama berada di Bali, ya sudah, ayo kita kumpul-kumpul lagi dan berdiskusi. Ya sekitar 20-an orang saja,” kata seorang penggagas acara, Heri Purwanto, budayawan asal Surabaya, di lokasi.

Forum ngobrol kebudayaan seperti ini, kata Heri, tidak kali ini saja. Beberapa waktu sebelumnya pernah digelar di Yogyakarta.

“Dan akan terus kita lakukan, September di Surabaya. Ujaran-ujaran kebencian, mengkafir-kafirkan orang lain, dengan entengnya dilontarkan di wilayah publik. Gerakan berkebaya, “diserang” habis-habisan. Festival kebudayaan di Jember juga dihujat. Tidak boleh seperti ini, itu bukan budaya kita, harus dihentikan,” kata Heri.

Mengapa acara dilangsungkan bersamaan dengan Kongres PDIP, Heri Purwanto menegaskan tidak ada kaitan. Tetapi kekhawatiran maupun ide-ide budayawan atas ancaman atas keberagaman budaya Indonesia sedianya ditujukan kepada dua pihak, negara dan masyarakat.

Sementara fakta saat ini, PDIP sebagai partai yang memegang pemerintahan. “Kalau menggunakan pendekatan aparat keamanan, tentu tidak mungkin. Bisa melanggar HAM. Maka diperlukan jalan kebudayaan,” katanya.

Narasumber acara itu, Sosiolog UGM Yogjakarta Dr Arie Sujito SSos menyampaikan, karena politik electoral (pemilu) budaya menjadi terpinggirkan. Dulu, kata dia, para pendiri bangsa seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan lain-lain juga beradu argumen dan bertukar ide dengan keras untuk mencapai kemerdekaan.

“Mereka menunjukkan budaya berdemokrasi dengan indah. Tidak ada yang merasa paling benar dan merendahkan antara satu kelompok atas kelompok lainnya. Semua terbingkai dalam keindonesiaan,” katanya.

Karena itu, kata Ari Sujito, masyarakat perlu terus menerus mendorong negara dalam memperbaiki kualitas demokrasi yang didalamnya terdapat korelasi dengan keberagaman. “Kebudayan-kebudayaan lokal mesti ditampilkan. Kebudayaan tidak sekadar tari-tarian, gending-gending dan sebagainya. Ada pesan moral baik di dalamnya. Ini mesti terus menerus dinarasikan dalam kehidupan keseharian,” terang Ari.

Budayawan asal Banyumas Bambang Brata Aji mengatakan, “masterpiece” kebudayaan Indonesia sudah dicetuskan saat sidang umum BPUPK 1 Juni 1945. Pancasila sebagai dasar negara yang di dalamnya mengandung keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar negara digali dari berbagai kelompok, suku, dan agama. “Ini sudah final. Tinggal kita rawat,” katanya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *