SURABAYA (Suarapubliknews) – Sidang lanjutan perkara pemalsuan akta otentik yang menjerat Henry Jocosity Gunawan dan istrinya, Iuneke Anggraini, kembali bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya dengan agenda pembacaan eksepsi (bantahan dakwaan,red). Kamis (10/10/2019).
Di dalam eksepsi terdakwa Henry J Gunawan dan istrinya disebutkan, ada hal-hal terkait keberatan penasehat hukum terdakwa yang disampaikan dan dianggap sebagai cacat prosedur, diantaranya terkait penetapan tersangka, perjanjian hutang piutang yang dianggap clear, sahnya perkawinan agama serta tidak diterimanya panggilan sidang.
Dengan dalil dalil tersebut, tim penasehat hukum terdakwa Henry dan Iuneke Anggraini berdalih, bahwa tindakan pidana Henry dan Iuneke yang di sangkakan memberikan keterangan palsu dalam akte otentik soal status perkawinannya merupakan hukum keperdataan.
“Maka berkenaan dengan itu, mohon agar yang mulia majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan kiranya mempertimbangkan yang ada di dalam eksepsi ini dikabulkan untuk seluruhnya. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak tidak nya dakwaan tersebut tidak dapat diterima. Agar jaksa penuntut umum mengeluarkan para terdakwa dari rutan kelas 1 surabaya setelah putusan ini diucapkan,”ucap Masbuhin ketua tim penasehat hukum terdakwa saat membacakan eksepsinya, di ruang Garuda 2.
Atas eksepsi tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Prakoso kemudian langsung mengajukan tanggapan secara lisan.
“Kami menanggapi secara lisan. Setelah mendengarkan eksepsi tim penasehat hukum yang tentunya cukup menggembirakan dan membesarkan hati dari para terdakwa. Pada pokoknya keluar dari ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP campur aduk dengan kewenangan praperadilan dan sudah masuk ke pokok perkara,”kata JPU Ali Prakoso.
Selain itu, JPU Ali Prakoso meminta agar majelis hakim yang diketuai Dwi Purwadi menolak eksepsi terdakwa dan menyatakan menerima surat dakwaannya.
“Menolak seluruh eksepsi dan menyatakan menerima dakwaan JPU sudah sesuai dengan pasal 143 ayat 3 huruf a dan b KUHAP, serta melanjutkan persidangan untuk memeriksa perkara ini,”ujar JPU Ali Prakoso diakhir tanggapannya.
Diakhir persidangan, terdakwa Henry mengajukan permintaan agar istrinya dikeluarkan dari tahanan dengan alasan tidak ada yang merawat anaknya.
“Terlepas dari hukum bagaimana. Saya merasa saya sama istri satu saja yang ditahan, karena saya ada anak anak yang masih kecil tidak ada yang jaga. Dan seharusnya gak pantes kalo hal seperti ini istri saya diikut ikutin karena dia tidak pernah pegang bisnis sama sekali,”tukas terdakwa Henry
“Kami masih pertimbangkan permohonan saudara, kan juga sudah mengajukan permohonan,”jawab hakim Dwi Purwadi.
Atas permohonan tersebut, Jaksa Ali Prakoso juga mengajukan permohonan dengan meminta Henry dan Iuneke mentaati Standar Operasional Prosedur (SOP) Kejaksaan terkait pemakaian rompi tahanan dan borgol.
“Ijin yang mulia, setelah terdakwa mengajukan permohonan, penuntut umum juga akan menjelaskan agar para terdakwa juga tertib aturan sesuai sop kami dari luar sidang sampai ruang tahanan agar bersedia mengenakan rompi dan diborgol tanpa melakukan perlawanan yang mulia,”ucap JPU Ali Prakoso.
Sontak pernyataan ini menuai protes dari tim penasehat hukum terdakwa, namun ditengahi oleh hakim Dwi Purwadi yang menyatakan, bahwa kewenangan diluar ruang sidang ada kewenangan jaksa.
“Saya sampaikan bahwa pemakaian rompi tahanan itu sop nya kejaksaan mau diborgol atau tidak saya tidak mau urusan itu. Yang penting saudara duduk di kursi itu dalam keadaan bebas, bebas tidak dibelenggu, artinya tidak diborgol. Boleh mengenakan rompi, tidak juga tidak apa apa. Itu saja batas wewenang saya seperti itu,”pungkas hakim Dwi.
Usai persidangan,JPU Ali Prakoso melalui pengawal tahanan Kejari Surabaya akhirnya memakaikan rompi tahanan pada Henry dan Iuneke serta memborgol kedua tangannya hingga menuju ke ruang tahanan PN Surabaya.
Untuk diketahui Jaksa Ali mendakwa Henry dan istrinya memberikan keterangan palsu ke akte otentik yakni dalam pembuatan 2 akte yakni perjanjian pengakuan hutang dan personal guarantee antara PT Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi hutang dan Henry Jocosity Gunawan sebagai penerima hutang sebesar Rp 17.325.000.000 (Tujuh Belas Miliar, Tiga Ratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah) di hadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 juli 2010 dihadiri juga oleh Iuneke Anggraini.
Dalam kedua akte tersebut Henry Jocosity Gunawan menyatakan mendapat persetujuan dari istrinya yang bernama Iuneke Anggraini, keduanya sebagai suami istri menjamin akan membayar hutang tersebut, bahkan Iuneke pun ikut bertanda tangan di hadapan notaris saat itu.
Belakangan terungkap bahwa perkawinan antara Henry Jocosity Gunawan dengan Iuneke Anggraeni baru menikah pada tanggal 8 November 2011 dan dilangsungkan di Vihara Buddhayana Surabaya dan dicatat di dispenduk capil pada 9 November 2011. (q cox, KOMPAK)