SURABAYA (Suarapubliknews) – Tuntutan pidana kebiri kimia oleh jaksa penuntut umum (JPU) jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, memang sengaja diterapkan guna mencapai efektifitas fungsi hukuman, yaitu sebagai efek jera.
Kepala Kejati Jatim, M Dofir dengan tegas mengatakan, penambahan tindakan kebiri kimia dalam berkas tuntutan jaksa, diharapkan sebagai efek jera agar tidak ada lagi masyarakat yang mencoba niat untuk melakukan tindak pidana ini.
“Nantinya, selain pidana pokok berupa hukuman penjara, kita bakal selalu menyertakan tuntutan kebiri kimia terhadap terdakwa kasus ini. Tujuannya jelas, guna efek jera sehingga bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana serupa,” tegasnya, Jumat (29/11/2019).
Tuntutan kebiri kimia ini, tak lepas dari vonis hakim terhadap perkara yang terjadi di kota Mojokerto belakangan waktu lalu. Vonis ini dijadikan yurisprudensi jaksa guna menerapkan tindakan kebiri kimia sebagai hukuman tambahan dalam berkas tuntutannya. Vonis hakim terhadap perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Padahal saat itu (perkara Mojokerto, red) kita tidak mengajukan tuntutan kebiri kimia, namun hakim berpendapat lain, dengan menambahkan kebiri kimia pada putusannya. Atas dasar itulah nantinya kita akan menuntut kebiri kimia terhadap para terdakwa kasus serupa pada sidang,” urainya.
Sikap tegas jaksa ini, senada dengan pendapat Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi. Pria yang kerap dipanggil Kak Seto ini mengaku prihatin melihat kasus kekerasan seksual pada anak. Ia berpendapat hukuman kebiri layak dijatuhkan kepada para predator anak. Namun harus ada beberapa hal yang diperhatikan, salah satunya pendampingan psikologis pelaku.
Kak Seto menyebut pendampingan psikologis ini penting untuk memberi pemahaman pelaku terkait kondisi libidonya. Sebab, libido pelaku kejahatan seksual pada anak biasanya sangat tinggi dan bisa membahayakan anak-anak.
Namun, jika pelaku langsung dikebiri tanpa diberi pemahaman, Seto khawatir pelaku akan balas dendam untuk melakukan hal-hal yang lebih sadis.
Kebiri kimia, kata dia, sempat ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), karena hal itu dimaknai sebagai hukuman. “Dokter pasti menolak karena dokter itu mengobati, bukan menghukum. Lain jika kebiri kimia dimaknai sebagai pengobatan atau rehabilitasi,” ujarnya saat di Mapolda Jatim, Jumat (29/11/2019).
Meski aturan teknis tentang hukuman kebiri kimia belum turun, namun 2 orang terpidana pelaku pencabulan anak sudah mengantre.
Keduanya adalah Rahmat Santoso Slamet (30), pembina kegiatan Pramuka asal Surabaya, dan Muhammad Aris, pemuda 20 tahun asal Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Rahmat Santoso Slamet selain divonis kebiri kimia selama 3 tahun, dia juga divonis penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya. (q cox)