JAKARTA (Suarapubliknews) – Pembangunan proyek light rapid transit (LRT) dinilai tidak berdasarkan kajian teknis dan ekonomis secara mendalam sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat, bahkan berpotensi merugikan keuangan negara.
Menurut Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati masalah transportasi logistik, keputusan pemerintah membangun LRT tidak tepat, terutama dari konsepnya sehingga berdampak terhadap tingginya biaya dibandingkan dengan kemanfaatannya.
“Saya melihat LRT ini masih berorientasi proyek, tidak melalui litbang yang benar, tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan riil masyarakat,” katanya, Sabtu (7/12/2019).
Dia menilai proyek LRT sudah keliru sejak perencanaannya. Kereta ringan sejenis LRT seharusnya dibangun di dalam suatu kawasan kota, bukan dijadikan angkutan antarkota seperti LRT Jabodebek (Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi) yang membentang hingga 130,4 km.
“Angkutan antarkota yang cocok itu adalah kereta komuter biasa, supaya bisa mengangkut penumpang dalam jumlah besar, sekaligus relnya dapat dilintasi kereta logistik. Bukan LRT, apalagi dibangun elevated dan sejajar jalan tol,” tegas Bambang Haryo.
Kekeliruan lain, ungkap anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019 ini, yakni penggunaan rel (track gauge) berukuran 1.435 mm yang biasa dipakai untuk KA kecepatan di atas 200 km per jam.
Padahal kecepatan LRT maksimum 60 km per jam sehingga cukup gunakan ukuran rel standar 1.067 mm. Dia mengatakan berbagai kekeliruan itu mengakibatkan biaya pembangunan LRT Jabodebek menjadi sangat besar.
Sebagai informasi, proyek LRT Jabodebek menelan biaya hampir Rp30 triliun, sementara kapasitas angkutnya maksimal 474.000 penumpang per hari.
Biaya proyek LRT semakin bengkak karena prasarana LRT Jabodebek ternyata mundur dari target penyelesaian 2019 menjadi 2021. Padahal, sarana atau gerbong kereta telah selesai diproduksi oleh PT INKA (Persero) tahun ini tetapi terpaksa idle karena depo dan jalur rel LRT belum siap.
“INKA terancam rugi besar. Pembayaran dari pemerintah tertunda karena kereta belum diserahkan dan diuji dinamik. Bagaimana mau uji dinamik, jalur rel dan deponya saja belum siap,” kata Bambang Haryo. Menurut informasi yang dia terima, hingga saat ini pembayaran ke INKA baru 30%,
“Ini suatu pemborosan dalam keuangan negara. Padahal proyek LRT menggunakan APBN dan utang luar negeri dengan bunga cukup tinggi. Kemenhub harus bertanggung jawab atas pemborosan ini, karena itu BPK dan Kementerian Keuangan harus melakukan audit,” tegasnya.
Bambang Haryo mengatakan, apabila di jalur LRT itu dibangun KA komuter berbasis rel, investasinya akan jauh lebih murah dan kapasitas angkutnya lebih besar, sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kereta logistik.
Pemerintah bisa menggandakan kapasitas KRL Jabodetabek yang saat ini berkisar 1,2 juta penumpang per hari hanya dengan investasi Rp9 triliun.
Investasi ini sudah termasuk membangun jaringan rel ganda (double track) sepanjang 100 km senilai Rp6 triliun (biaya pembangunan rel Rp30 miliar per km) dan 50 rangkaian kereta senilai Rp3 triliun (Rp60 miliar per rangkaian).
“Kalau Rp30 triliun untuk LRT digunakan mengembangkan KRL, penumpang yang diangkut bisa lebih dari tiga kali lipat atau 4 juta orang per hari. Belum lagi dari angkutan logistik yang melintasi jaringan rel KRL atau kereta konvensional itu,” ujarnya.
Bambang Haryo mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari kegagalan proyek LRT Palembang, yang menghabiskan biaya Rp10,9 triliun tetapi sampai sekarang masih sepi penumpang.
Alokasi subsidi LRT Palembang pada 2020 disebut mencapai Rp180 miliar, naik dari tahun ini Rp123 miliar. Sejak beroperasi komersial, LRT Palembang hanya mengantongi pendapatan Rp1,1 miliar per bulan, sedangkan biaya operasionalnya mencapai Rp10 miliar.
Kegagalan Lainnya versi Bambang Haryo
Selain LRT, Bambang Haryo menyoroti beberapa proyek kereta api yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proyek yang dia nilai gagal antara lain rel ganda Jakarta-Surabaya yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
Pada era Presiden SBY, proyek yang rampung tahun 2013 ini ditargetkan dalam 5 tahun dapat menyerap angkutan kontainer 1 juta TEUs, tetapi realisasinya sampai saat ini tidak lebih dari 300.000 TEUs per tahun.
“Ini suatu kegagalan pemerintah memindahkan angkutan logistik darat ke kereta api dalam upaya menghindari kemacetan dan kecelakaan, serta kerusakan jalan,” ujarnya.
Kegagalan lain, menurut Bambang Haryo, yakni operasional KA Bandara Adi Soemarmo Solo yang molor hingga 2 tahun lebih karena keretanya sudah selesai tetapi infrastrukturnya belum siap. KA itu terpaksa digunakan untuk kereta kota kecepatan rendah di bawah 20 km per jam sehingga kurang bermanfaat.
Proyek lain yang mubazir yakni pembukaan rel KA pelabuhan di Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Emas Semarang. Proyek yang sempat menimbulkan konflik dan jatuh korban ini sampai sekarang nganggur, padahal bagus bila dimanfaatkan karena terintegrasi langsung dengan transportasi logistik laut. (q cox)