SURABAYA (Suarapubliknews) – Arif Fathoni Ketua Fraksi Golkar DPRD Surabaya mendorong Pemkot Surabaya agar meninggalkan papan reklame konvensional seperti Billboard advertising, Baliho dan Neon Box untuk beralih ke jenis videotron agar sebutan Smart City tidak tercederai.
“Kami mendorong agar Surabaya Smart City itu tidak hanya menjadi jargon semata. Maka diperlukan upaya menuju ke arah sana. Upaya yang lain sudah bagus, tinggal sekarang tidak membiarkan sebutan Kota Surabaya sebagai hutan reklame ini terus berlangsung,” ucapnya kepada media ini. Senin (20/01/2020)
Menurut Arif Fathoni, karena Kota Surabaya telah mendeklarasikan diri sebagai Smart City, maka para pelaku usaha juga harus berbasis teknologi seperti kota-kota modern lainnya. Salah satu contohnya di Eropa.
“Disana sudah tidak ada lagi Billboard dan baliho, karena semua beralih ke videotron. Jadi yang konvensional sudah tidak ada,” ujarnya.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya ini berpendapat, jika kondisinya masih seperti saat ini maka tidak ada bedanya dengan kota-kota tetangga.
“Lantas dimana Smart City nya. Ini paradoks (kontra produktif). Maka industri reklame di Surabaya harus segera beralih ke videotron. Meninggalkan yang konvensional karena merusak estetika kota,” tandasnya.
Maka sekarang, lanjut Arif, tergantung kepada Wali Kota. Akan meninggalkan legacy apa di jelang akhir pemerintahannya. Apakah tetap membiarkan sebutan sebagai hutan reklame yang tak tersentuh apapun selama beberapa periode Wali Kota.
“Atau akan mencatatkan dalam tinta sejarah emas kota Surabaya bahwa di masanya penataan reklame sudah bagus, dari reklame konvensional yang merusak estetika kota menuju reklame yang berbasis teknologi dan modern yakni videotron,” singgungnya.
Arif menegaskan jika satu-satunya pintu masuk hanya melalui revisi Perda no 8 Tahun 2006 tentang reklame, agar penataan kota lebih cantik dan bisa menaikkan retribusi. Karena satu titik videotron bisa menampilkan beberapa konten iklan.
“Mau nggak mau, ini harus dipaksa. Kalau pengusaha reklame masih diberikan alternatif seperti billboard, baliho dan neon box, maka sampai kapanpun tidak akan berubah/beralih ke videotron, karena investasinya memang mahal. Maka harus dipaksa, karena mereka sudah menikmati keuntungan selama puluhan tahun,” tegasnya.
“Ayo kita dukung gagasan Wali Kota Risma tentang Surabaya Smart City, dengan beralih dari reklame konvensional ke reklame yang berbasis teknologi modern yakni jenis videotron,” tambahnya.
Sebagai ketua Fraksi Golkar, Arif Fathoni akan mendorong munculnya Raperda inisiatif, karena pihaknya juga sudah melakukan komunikasi kepada lintas fraksi, yang menurutnya telah sepaham.
“Ini jika tidak ada usulan dari pemkot. Karena semangatnya sama-sama ingin meninggalkan legacy yang baik kepada masyarakat Surabaya, yakni menghilangkan predikat hutan reklame. Sampai kapan kondisi ini terjadi,” janjinya.
Dikaitkan dengan cuaca ekstrem di Surabaya akhir-akhir ini, Arif Fathoni mengatakan, pohon yang ciptaan Tuhan saja bisa tumbang, apalagi konstruksi buatan manusia, yang masih ditambah lagi dengan minimnya pengawasan.
Diakhir paparannya, Arif Fathoni menerangkan jika PAD Pemkot Surabaya dari sektor reklame hanya sekira 120 Miliar per tahun.
“Ini kan tidak sebanding dengan pengrusakan estetika kota. Seharusnya minimal 250 Miliar per tahun. Maka caranya kemudian juga didorong munculnya kenaikkan retribusi reklame videotron,’ pungkasnya. (q cox)