SURABAYA (Suarapubliknews) – DPRD Kota Surabaya bersama Pemkot Surabaya telah mengesahkan Raperda Perubahan Atas Perda Surabaya Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Surabaya, Senin (16/8/2021) lalu.
Di dalam perubahan perda tersebut menggabungkan sekaligus memecahkan sejumlah OPD. Rencananya, SOTK yang baru akan berjalan mulai 2022. Tentu saja hal ini erat kaitannya dengan rencana perombakan sejumlah pejabat eselon II hingga eselon IV.
Terkait hal ini, Arif Fathoni SH dari Fraksi Partai Golkar (FPG) DPRD Kota Surabaya, mengatakan bahwa reposisi dan mutasi pejabat di lingkungan Pemkot Surabaya adalah hak prerogatif Wali Kota.
“Karena reorganisasi tersebut dalam rangka agar frekuensi antara wali kota dan wakil wali kota dengan organisasi perangkat daerah (OPD)- nya menjadi sama atau seirama. Termasuk dalam hal kinerja,” ucapnya. Kamis (26/8/2021).
Menurut Toni-sapaan akrab Arif Fathoni, melihat manajemen kepemimpinan Eri Cahyadi-Armuji menggambarkan gabungan orang lapangan dengan orang manajerial.
“Ya, mudah- mudahan dengan reorganisasi ini semakin menambah kinerja Pemkot Surabaya, dalam rangka merealisasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” ujar Toni.
Namun demikian, Toni yang juga anggota Komisi A (Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Kota Surabaya ini berharap pada wali kota periode sekarang tidak ada lagi rangkap jabatan.
“Sebab, dari aspek apapun rangkap jabatan tersebut menghambat kinerja. Karena satu orang harus fokus pada dua lembaga. Itu tidak mudah,” tandas dia.
Selain itu, lanjut dia, rangkap jabatan ini menghambat regenerasi di lingkungan Pemkot Surabaya.
“Ada banyak pejabat fungsional yang sebenarnya sudah layak memimpin OPD, tapi karena proses rangkap jabatan itu, membuat nilai-nilai manajerial yang bersangkutan menjadi tidak bermanfaat. Itu saja harapan kami,” ungkap Toni.
Lebih jauh, mantan wartawan ini menegaskan, soal siapa ditempatkan dimana, dirinya percaya Eri Cahyadi dan Armuji sudah punya pertimbangan yang matang untuk itu semua.
“Kami tidak dalam konteks untuk mendorong-dorong seseorang menjadi apa,” ungkap Toni.
Terkait terobosan swastanisasi birokrasi, yang mana jika kepala OPD tak bisa memenuhi target diganti, Toni mengaku setuju.
“Dengan demikian, basic reward and punishment-nya jelas. Selama ini meski standar operasional prosedur (SOP) nya ada, tapi proses reward and punishment tak berjalan dengan baik. Buktinya masih banyak pejabat yang rangkap jabatan,” pungkasya. (q cox)
Kalau dulu, kata Toni, alasan rangkap jabatan kan karena susah menunjuk orang. Ini bukan soal susah menunjuk orang, tapi bagaimana seorang pemimpin punya jiwa distribution of power. Jadi pembagian wewenang secara jelas dan rinci itu memang tak gampang. Karena itu menyangkut kepercayaan pemimpin terhadap orang yang dipimpin.
“Saya yakin setiap orang yang diberikan kesempatan untuk memimpin OPD, orang tersebut akan memaksimalkan kinerjanya sesuai tujuan yang tertuang di RPJMD, ” pungkas Toni.