LAMONGAN (Suarapubliknews) – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kembali mengusulkan desa devisa guna memenuhi kuota program yang diinisiasi oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kali ini, giliran Desa Parengan, Maduran, Lamongan yang diusulkan menjadi Desa Devisa. Desa ini, kata Khofifah, memiliki produk unggulan berupa tenun ikat dan kain songket.
“Lamongan ini punya tenun ikat yang sentranya ada di desa Parengan yang memang diproduksi oleh penduduk desa ini,” katanya usai mengunjungi Butik Kerajinan Tenun Ikat Paradila di Desa Parengan, Maduran Lamongan, Sabtu (5/3).
Sebagai informasi, Tenun Ikat ini berasal dari Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan. Kerajinan tersebut dikenal masyarakat dengan nama tenun ikat Parengan. Tenun Ikat Parengan ini dibuat langsung di sentra industri yang bernama Paradila.
Selain tenun ikat, Butik Paradila ini juga menyediakan tenun ikat doby, tenun ikat doby tiker, songket sido, songket payet, songket ancak, dan tenun ikat spesial. Butik Paradila telah berdiri sejak 1989 dan menaungi warga Desa Parengan dan sekitarnya untuk menjaga kelestarian tenun ikat di Lamongan.
Oleh karenanya, Gubernur Khofifah mengatakan, Desa Parengan di Lamongan ini patut untuk diusulkan menjadi desa devisa. Pasalnya, beberapa kriteria dari desa devisa sudah ada di Desa Parengan ini. Termasuk menghasikan Kerajinan Tenun Ikat.
Menurutnya, dengan menyandang predikat sebagai desa devisa, maka daya saing produksi tenun ikat asal Desa Parengan akan semakin meningkat. Mengingat, program Desa Devisa ini salah satunya memberikan pendampingan dan pengembangan kapasitas pelaku usaha berorientasi ekspor.
Ia menegaskan bahwa program desa devisa ini sangat strategis dalam meningkatkan kualitas produk, utamanya dalam mendorong produk asal desa masuk ke rantai pasok global. Pada akhirnya, ekonomi masyarakat akan meningkat dan kesejahteraan akan turut mengikutinya.
“Kuota Provinsi Jawa Timur dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebanyak 15 desa, saat ini kami terus melakukan hunting dan identifikasi mana-mana saja desa yang memenuhi kriteria untuk masuk dalam kuota tersebut. Desa Parengan ini menurut saya sangat layak dan sudah diusulkan,” imbuhnya.
Lebih lanjut Gubernur Khofifah menjelaskan bahwa untuk dapat diusulkan menjadi desa devisa, sebuah desa harus memenuhi beberapa kualifikasi yang ditetapkan LPEI. Diantaranya memilki produk yang unik, memiliki produk mandiri, terdapat beberapa pengrajin dalam desa tersebut, dan pengrajinnya telah ada dalam satu asosiasi.
“Syaratnya, satu bahwa produknya unik kedua itu produk sendiri bukan menjual produknya jasa lain jasa devisa ketiga bahwa satu desa itu ada beberapa unit pengrajinnya yang keempat bahwa di desa itu unit pengrajin ini sudah terasosiasi dalam pengelompokan koperasi atau asosiasi,” jelasnya.
Selain itu, Gubernur Khofifah juga mengungkapkan bahwa jika mendapatkan approval dari LPEI, maka berkesempatan Go Internasional melebarkan sayap market sampai mancanegara. Karena bersamaan dengan berlangsungnya agenda G20 di Indonesia mulai Maret sampai akhir tahun maka akan banyak peluang pasar yang bisa didapatkan.
“Karena ini bisa langsung didisplay di G20, jadi yang sudah masuk kategori desa devisa kesempatan utamanya adalah produknya didisplay di dalam pertemuan pertemuan G20,” ungkapnya. Kita harapkan akan menjadi pasar baru bagi seluruh pelaku pelaku industri kreatif termasuk tenun ikat,” lanjutnya.
Dipaparkan Gubernur Khofifah, beda dengan tenun ikat pada umumnya, tenun ikat Parengan memiliki ciri khas yaitu berbahan kain lebih halus dan tidak begitu tebal. “Begitu juga dengan bahannya yang lebih lemas serta jatuh dan memberikan kesan dingin ketika dipakai. Ini menjadi nilai lebih yang dimiliki tenun ikat parengan,” tegasnya.
Gubernur Khofifah pun mengagumi motif khas tenun ikat Parengan ini berupa ‘gunungan’ yang dibentuk menyerupai gapura. Motif tersebut melambangkan gunung mati di Lamongan yang dihidupkan kembali melalui tenun ikat Parengan.
“Proses produksinya pun masih dibuat secara tradisional oleh warga sekitar. Meski hanya diproduksi di Lamongan, tenun ikat Parengan dari butik Paradila sudah menembus pasar internasional. Diantaranya Somalia dan Timur Tengah. Tenun ikat Parengan ini memang hanya bisa ditemui di Lamongan,” paparnya.
Gubernur Khofifah menerangkan bahwa di desa tersebut terdapat sebanyak 52unit usaha tenun ikat dengan total pekerja mencapai 2.700 orang. Adapun kapasitas produksi per bulan mencapai 3.000 potong kain tenun dan 20.000 lembar sarung. “Selama ini tenun ikat Lamongan ini telah melakukan ekspor sarung (sarung ikat) ke Somalia dan Timur Tengah melalui eksportir di Surabaya,” ujarnya.
Nujum, istri dari Miftakhul Khoiri pemilik butik Paradila mengatakan bahwa ada 4 sampai 7 orang pekerja yang menenun di butik Paradila. Sementara yang lain tersebar di rumah masing- masing seluruh desa Parengan. Ia juga mengatakan bahwa 1 orang pekerja hanya memiliki 1 keahlian. Sementara dalam setiap kain yang diproduksi membutuhkan 14 tahapan produksi.
“Sementara ini pasarnya sudah sampai Timur Tengah, hanya kita dibantu eksportir di Surabaya untuk bisa menjual sampai disana, biayanya tidak mencukupi kalau harus sendiri,” ucapnya.
Secara harga, tenun ikat Parengan ini juga bisa dikatakan murah. Karena dengan kisaran harga antara Rp 150-225 ribu sudah dapat membawa pulang satu helai tenun ikat, ikat dobi dengan harga Rp 225 ribu, dan untuk jenis songket harganya berkisar Rp 350 – 750 ribu.
Sementara untuk proses membuat kain tenun ikat sekitar 4 jam satu lembar, sehari bisa menghasilkan 2 kain tenun ikat per satu orang pekerja. Untuk kain songket sendiri prosesnya bisa satu hari sendiri, sehingga per harinya hanya satu kain songket per pekerja.
Tak hanya menarik perhatian Gubernur Khofifah, Kerajinan Tenun Lamongan ini juga pernah mendapatkan penghargaan di tingkat nasional. Sebagai contoh pemecahan Rekor MURI atas Rekor kain tenun terpanjang di dunia, memiliki panjang 64,20 meter. Selain itu juga, Perajin Tenun Lamongan pada East Java Fashion Harmony Tahun 2019, Juara 1 Pelestari Budaya dalam Penghargaan Parasamya Kertanugraha tahun 2009. (q cox, tama dinie)