Jatim RayaPeristiwa

Hari Masyarakat Adat Internasional, Jatim Miliki 6 Suku Besar dan 7.105 Potensi Kebudayaan

1145
×

Hari Masyarakat Adat Internasional, Jatim Miliki 6 Suku Besar dan 7.105 Potensi Kebudayaan

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak masyarakat utamanya generasi muda ikut berperan aktif dalam upaya perlindungan dan pelestarian budaya dan adat istiadat asli Jawa Timur. Pasalnya, Jawa Timur memiliki 7.105 potensi kebudayaan yang harus dilindungi dan dilestarikan bersama-sama.

Hal tersebut ditekankan Gubernur Khofifah bertepatan dengan peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional yang diperingati pada tanggal 9 Agustus setiap tahunnya. “Tugas melindungi budaya warisan leluhur bukan hanya kewajiban para tokoh masyarakat adat, namun harus didukung oleh seluruh masyarakat di sekitarnya. Sehingga, ini menjadi kewajiban kita bersama,” ungkapnya di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Rabu (9/8).

Gubernur Khofifah mengatakan, adat istiadat dan budaya penting dilestarikan terlebih di era globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini. Tak dipungkuri, banyak generasi muda yang lebuh dekat dengan budaya asing karena mudahnya mengakses beragam hiburan di media sosial.

“Generasi muda perlu digerakkan untuk ikut melestarikan adat istiadat dan budaya. Sebagai upayanya yaitu dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya daerah, napak tilas kebudayaan, tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing. Harapannya, nilai adat istiadat serta kebudayaan dapat terus terjaga dan lestari,” urainya.

Lebih lanjut dijelaskan, keberadaan masyarakat adat di Jawa Timur sendiri sangat beragam. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, tercatat enam suku besar tersebar di seluruh penjuru Bumi Majapahit, yaitu Suku Jawa, Suku Madura, Suku Tengger, Suku Osing, Suku Samin dan Suku Bawean.

Suku Jawa sebagai mayoritas, terbagi dalam beberapa etnis yaitu etnis Mataraman yang terbagi menjadi Mataraman Kulon (Pacitan, Ngawi, Magetan, dan Ponorogo) dan Mataraman Wetan (Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Blitar, Madiun). Kemudian etnis Arek yang berpusat di Surabaya Raya dan Malang Raya.

Sedangkan Suku Madura juga terbagi menjadi etnis Madura Pulau (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), Madura Pandhalungan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember). Selain itu, terdapat Suku Tengger yang menempati wilayah lereng Gunung Bromo, Suku Osing di Kab. Banyuwangi, Suku Samin di Kab. Bojonegoro dan Suku Bawean di Pulau Bawean.

Beragamnya suku yang ada di Jawa Timur disebut Gubernur Khofifah sebagai kekayaan budaya yang bisa menjadi potensi tersendiri. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jatim, terdapat total 7.105 potensi kebudayaan yang tersebar di seluruh Kab/Kota.

Jumlah tersebut terdiri atas 134 bahasa, 598 manuskip, 237 ritus, 645 teknologi tradisional, 631 olahraga tradisional, 1.214 tradisi lisan, 713 adat istiadat, 710 pengetahuan tradisional, 305 permainan tradisional dan 1.918 kesenian.

Dengan ribuan potensi tersebut, Gubernur Khofifah meyakini, jika seluruh masyarakat mau bersama untuk melindungi dan melestarikan, maka perekonomian Jatim pun bisa merasakan dampaknya.

“7.105 potensi kebudayaan itu bukan jumlah sedikit. Siapa lagi yang bisa menjaganya kalau bukan kita sebagai warga Jawa Timur. Jika potensi itu bisa kita jaga bersama, bahkan dikembangkan, maka akan memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat di sekitarnya, utamanya di sektor perekonomian,” tegasnya.

Di sisi lain, kepedulian dalam menjaga kelestarian budaya adat juga diharapkan sebagai upaya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Di momen bulan Kemerdekaan, wujud nyata kebhinekaan harus terus diagungkan.

GUbernur Khofifah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang telah menjadi panutan bangsa lain. Untuk itu, kembali dirinya mengajak masyarakat untuk menanamkan rasa kebhinekaan di dalam diri masing-masing guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

“Walaupun Jawa Timur terbagi atas berbagai Suku, bukan menjadi alasan untuk berjalan sendiri-sendiri. Sikap saling menghargai budaya satu dan lainnya perlu ditanamkan di diri kita masing-masing,” pungkasnya. (q cok, tama dini)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *