PeristiwaPolitik

Tragedi 98 dan Pelanggaran HAM, Gen Z dan Milenial Surabaya: Kami Menolak Lupa!”

136
×

Tragedi 98 dan Pelanggaran HAM, Gen Z dan Milenial Surabaya: Kami Menolak Lupa!”

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Gerakan Pemuda Surabaya menggelar diskusi Refleksi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan tema “98 Wujud Nyata Masa Kelam”, dihelat di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Kamis (31/08/23).

Acara menghadirkan narasumber pengamat politik senior Prof. Hermawan Sulistyo, eks-aktivis 98 IG Anom Astika, serta jurnalis foto senior Ahmad Subecki yang hadir via tayangan digital.

Ketiga orang itu adalah saksi hidup dan pelaku sejarah di periode menjelang hingga pasca peristiwa Reformasi 1998, melawan rezim Orde Baru.

Pada masa 1998, begitu banyak orang yang menentang Orde Baru diculik, juga merebak kekerasan oleh aparat keamanan bahkan pelanggaran HAM. Bahkan, sejumlah aktivis yang diculik, hingga kini tidak kembali. Tidak diketahui rimbanya.

Acara dibuka Ketua DPRD Kota Surabaya Adi Sutarwijono, diskusi di kampus itu selama tiga jam berlangsung hidup dan panas. Dimoderatori anak muda Gen-Z, Aryo Seno Bagaskoro, yang juga pendiri Aliansi Pelajar Surabaya. Ratusan audiens aktif menyimak. Dan, merespon cerita para narasumber dan penutur.

Tak jarang mencuat teriakan “Merdeka!” serta “Usut tuntas pelanggar HAM!” diteriakkan sepanjang acara berlangsung.

Para audiens yang berasal dari latar belakang millenial, gen Z, dan eks aktivis 98 itu tampak bersemangat mengikuti penyampaian dari Prof. Kikiek, sapaan akrab Hermawan Sulistyo.

Hermawan Sulistyo pernah memimpin Tim Investigasi Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Semanggi. Diceritakan panjang lebar tentang tragedi dan gejolak di masa tersebut. Mulai tragedi Trisakti, tragedi Semanggi 1 dan 2. Juga hilangnya para aktivis diantaranya Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, dan Herman Hendrawan, dan lain-lain yang tidak pernah kembali.

Setelah tragedi kelam itu, Prof Hermawan yang akrab disapa Mas Kiki bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998. Diperiksa belasan jenderal termasuk Prabowo Subianto. TGPF diketuai Marzuki Darusman, yang kala itu juga anggota Komnas HAM.

“Kami periksa Prabowo dan dari 15 jenderal yang lain. Hanya Prabowo yang marah gebrak meja. Dia dari awal memang sebenarnya tidak lolos tes psikologi dan tidak boleh pegang pasukan,” kata Kikiek, seraya berpesan agar berhati-hati memilih pemimpin.

“Tapi kalau sampai dia terpilih sebagai presiden, saya punya alasan untuk kembali turun ke jalan demo lima tahun ke depan. Kalau yang ada di ruangan ini bukan ayam sayur (penakut) pasti ikut turun juga,” ungkap doktor politik lulusan Arizona State University ini.

Narasumber lain, Anom Astika, mengusulkan agar dirancang regulasi yang mengatur syarat bagi calon presiden, khususnya dalam hal pelanggaran HAM atau kekerasan di masa lalunya.

“Sehingga secara aturan jelas, tidak memberi kesempatan bagi figur-figur yang di masa lalu punya masalah dengan pelanggaran HAM dan kekerasan. Tidak memberi ruang untuk bisa terpilih menjadi pejabat publik,” kata Anom yang pernah merasakan penyekapan dan dipenjara oleh rezim Orde Baru.

Ketua Gerakan Pemuda Surabaya Mirza Akmal mengatakan diskusi ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan generasi muda yang lahir pasca peristiwa 98.

“Sehingga kawan-kawan tidak melupakan sejarah, sebagai cermin dalam menentukan langkah ke depan,” kata mahasiswa kelahiran 2003 ini.

Acara ditutup dengan pembacaan puisi, penyalaan lilin, dan doa bersama untuk para korban dari tragedi 98 yang diikuti secara khidmat oleh seluruh peserta dan narasumber.

Mirza Akmal kemudian memandu anak-anak Surabaya, kaum milenial, gen Z dan semua yang hadir, menyatakan ikrar untuk menolak lupa pada pelanggar HAM pelaku kekerasan bakal memimpin Republik Indonesia. (q cox)

IKRAR PEMUDA SURABAYA MENOLAK LUPA

Kami Pemuda-Pemuda Surabaya, yang senantiasa sadar dan bercermin dari Sejarah Menyatakan bahwa:

1. Kami menolak lupa terhadap kejahatan-kejahatan kemanusian yang terjadi pada tahun 1998.

2. Kami menolak lupa bahwa pelaku utama kejahatan Kemanusian belum ditindak sesuai hukum yang berlaku.

3. Kami menolak mereka yang tangannya berlumuran darah untuk memimpin Indonesia.

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *