SURABAYA (Suarapubliknews) – Ahli hukum dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Nur Basuki Minarno SH, Mhum secara tegas menyatakan penerapan pasal 266 KUHP bisa dijeratkan tanpa harus menunggu adanya timbul kerugian yang diderita pelapor.
“Dalam pasal 266 KUHP, sebagian delik formil yang diancam pidana adalah perbuatannya. Memang dirumuskan, dengan istilah dengan dapat menimbulkan kerugian, namun kalau kerugian belum muncul tidak apa-apa, karena delik formil,” terangnya.
Hal ini, Nur Basuki terangkan saat dirinya dihadirkan dalam lanjutan sidang perkara dugaan pemalsuan keterangan pernikahan yang menjerat bos PT Gala Bumi Perkasa (GBP) Henry J Gunawan dan istrinya, Iuneke Anggraini sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (21/11/2019).
Selama persidangan, banyak hal yang ditanyakan oleh para pihak kepada ahli. Mereka berupaya menggali pendapat ahli terkait penerapan pasal 266 KUHP maupun soal keabsahan sebuah akta yang dibuat dihadapan notaris. Ahli pada pokoknya menerangkan bahwa yang terpenting adalah pembuktian adanya keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang diterangkan oleh para pihak dalam akta.
Sedangkan terkait pertanyaan tim penasehat hukum kedua terdakwa yang menyebut bahwa akta yang digunakan sebagai alat bukti dalam perkara ini merupakan akta palsu, karena kliennya merasa tidak pernah menghadap ke notaris dan tidak pernah dibacakan, kata Prof Nur Basuki, haruslah dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan, tidak bisa hanya opini belaka.
“Yang saya pahami kalau prosedurnya sudah benar dan dibacakan dan telah ditandatangani, tidak ada namanya akta palsu. Untuk palsu atau tidak bisa haruslah diujikan melalui pengadilan,”tandasnya.
Selain ahli Nur Basuki, Jaksa Penunut Umum (JPU) Ali Prakosa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, juga menghadirkan ahli Prof Dr Yohanes Sogar Simamora SH, Mhum, dari Unair Surabaya.
Terkait sahnya perkawinan, terang Prof Sogar, telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
“Perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan masing masing dan dicatat di kantor negara baik KUA maupun catatan sipil. Sehingga menjadi jelas bahwa jika menyangkut perkawinan maka wajib dicatat,”terangnya.
Ahli juga tegas menjawab pertanyaan tim Hotma Sitompul saat mempertanyakan tentang perkawinan adat, “Perkawinan adat tidak dikenal dalam hukum Indonesia, aturan hukumnya jelas Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dan Undang Undang Administrasi Kependudukan”, tegasnya.
Sedangkan terkait keabsahan akta otentik apabila terdapat ketidaksesuaian isi, masih kata Prof Sogar, Akta otentik tersebut akan tetap berlaku, hanya saja kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan.
Perdebatan soal keabsahan akta ditutup oleh pertanyaan jaksa tentang siapa yang berwenang menilai sah atau tidak nya akta, Prof Sogarpun menegaskan, “tentunya hakim yang menilai, melalui putusan pengadilan”.
Terpisah, ketua tim penasehat hukum kedua terdakwa, Dr Hotma P.D Sitompoel SH, Mhum saat dikonfirmasi menyebut pendapat kedua ahli diatas merupakan hal yang aneh.
“Aneh saja, orang awam juga tahu, kalau yang diributkan (dalam perkara) ini kan soal akta, yang bikin akta (notaris) kan harus datang (sidang). Sedangkan saksi ahli tidak berani mengatakan hal itu, ya tidak pas pendapat hukumnya,” ujar Hotma saat diwawancarai usai sidang.
Ia juga mengatakan, seharusnya, sebagai ahli, kedua profesor tersebut harus fair mengutarakan pendapat hukumnya.
Untuk diketahui, Henry dan istrinya diadili setelah didakwa memberikan keterangan palsu ke alam 2 akta otentik yakni perjanjian pengakuan hutang dan personal guarantee antara PT Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi hutang dan Henry Jocosity Gunawan sebagai penerima hutang sebesar Rp 17.325.000.000 dihadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 juli 2010 dihadiri juga oleh Iuneke Anggraini.
Dalam kedua akte tersebut Henry Jocosity Gunawan menyatakan mendapat persetujuan dari istrinya yang bernama Iuneke Anggraini, keduanya sebagai suami istri menjamin akan membayar hutang tersebut, bahkan Iuneke pun ikut bertanda tangan di hadapan notaris saat itu.
Belakangan, perkawinan antara Henry Jocosity Gunawan dengan Iuneke Anggraeni dituding baru menikah pada tanggal 8 November 2011 dan dilangsungkan di Vihara Buddhayana Surabaya dan dicatat di dispenduk capil pada 9 November 2011.
Dalam kasus ini, Henry dan Iuneke didakwa melanggar Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. (q cox)