Pemerintahan

Akademisi Nilai Digitalisasi Parkir Surabaya Jadi Solusi Kebocoran PAD

74
×

Akademisi Nilai Digitalisasi Parkir Surabaya Jadi Solusi Kebocoran PAD

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan menerapkan sistem parkir digital di seluruh tempat usaha dan Tepi Jalan Umum (TJU) secara bertahap mulai tahun 2026. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan transparansi pendapatan parkir, melindungi pemilik usaha, sekaligus memastikan keadilan bagi semua pihak.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, Rusdianto Sesung, menilai potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir sebenarnya sangat besar. Ia mengungkapkan hasil kajian akademisi menunjukkan potensi pendapatan parkir TJU di Surabaya dapat mencapai Rp55 miliar.

“Jadi ada kajian dari teman-teman akademisi juga di Surabaya, itu kalau parkirnya optimal, potensinya (PAD) bisa sampai Rp55 miliar, untuk potensi pendapatan dari parkir tepi jalan umum,” ujar Sesung saat diwawancarai awak media, Jumat (19/12/2025).

Sesung menjelaskan, pengaturan sistem pemungutan pajak dan retribusi secara digital telah diatur dalam Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perda itu memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan sistem online.

“Makanya di dalam penyusunan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di tahun 2023 yang sekarang menjadi Perda Nomor 7 tahun 2023 itu mengatur tentang ketentuan mengenai online dari sistem pajak daerah maupun retribusi daerah,” jelasnya.

Menurutnya, terdapat empat tujuan utama penerapan sistem parkir digital tersebut. Pertama supaya tertib administrasi perpajakan dan retribusi. Kedua, supaya mengurangi atau menghindari kehilangan potensi pendapatan dari sektor pajak dan retribusi. “Yang ketiga, agar lebih transparan dan akuntabel, sehingga pendapatannya akan lebih meningkat. Dan yang terakhir, agar memudahkan masyarakat,” paparnya.

Ia menegaskan, jika penerapan sistem digital justru memberatkan masyarakat atau pelaku usaha, maka kebijakan tersebut keluar dari tujuan awalnya. Karena itu, Sesung mengapresiasi Pemkot Surabaya yang membuka ruang partisipasi publik dalam setiap pengambilan kebijakan. “Dalam setiap pengambilan kebijakan, kalau di dalam hukum, itu yang disebut dengan meaningful participation (partisipasi bermakna),” katanya.

Lebih rinci, Sesung memaparkan partisipasi bermakna dalam perspektif hukum yang mencakup beberapa aspek. Yakni, Hak untuk Tahu (Right to Know), Hak untuk Didengar (Right to be Heard), Hak untuk Dipertimbangkan (Right to be Considered) dan Hak untuk Mendapat Penjelasan (Right to be Explained/Feedback).

“Jadi kenapa harus digital? Karena memang digital ini adalah perkembangan sosial yang tidak mungkin kita hindari. Dunia konvensional sudah mulai kita tinggalkan, kita menuju kepada digital,” paparnya.

Sementara terkait pajak parkir 10 persen yang dipersoalkan pelaku usaha, Sesung menegaskan ketentuan tersebut bersifat wajib selama memenuhi syarat subjektif dan objektif. “Jadi pajak itu adalah pungutan negara yang sifatnya memaksa. Konstitusi kita bicara begitu, pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Dalam regulasi itu, parkir termasuk pajak barang dan jasa tertentu.

“Nah, parkir ini kan bagian dari pajak barang jasa tertentu. Jadi ketika terpenuhi syarat subjektif dan objektifnya, maka oleh undang-undang yang kemudian dituangkan lagi dalam Perda Nomor 7 Tahun 2023, sudah wajib pajak dia, harus bayar,” tegasnya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Ardhiwinda Kusumaputra, menilai digitalisasi parkir sebagai bagian dari upaya penataan dan modernisasi, meski tidak lepas dari tantangan.

“Ini sebenarnya kita berupaya untuk melakukan pembaruan, penataan. Kita tahu bahwa digitalisasi ini memang tidak 100% akan membawa kebaikan semua. Pasti ada konsekuensi-konsekuensi, termasuk risiko di dalamnya,” ujar Ardhi.

Ia membandingkan kebijakan ini dengan transisi sistem pembayaran tol dari konvensional ke elektronik. “Nah, itu dulu dari konvensional ke taping, berat kan. Tapi faktanya semakin berjalannya waktu, itu menjadi sebuah kemudahan,” katanya.

Menurut Ardhi, poin utama digitalisasi parkir adalah peningkatan transparansi dan akuntabilitas. “Kalau misalnya transaksinya secara digital, kita tahu berapa sih perputarannya. Kalau kita bandingkan dengan yang konvensional, kita tahu ada kebocoran-kebocoran di sana,” jelas Ardhi yang juga anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tersebut.

Namun, Ardhi menekankan kebijakan parkir digital ini tidak bisa diterapkan secara instan tanpa tahapan dan pendekatan yang tepat. “Tentu itu semua tidak bisa 180 derajat langsung kemudian diterapkan begitu saja. Pasti ada tahapan-tahapan, pendekatan-pendekatan, pendekatan secara humanis ke masyarakat, pelaku usaha, ke penggunanya,” katanya.

Selain itu, Ardhi juga mengingatkan pentingnya kajian mendalam agar kebijakan parkir digital tidak sekadar mengikuti tren. “Agar kebijakan ini tidak hanya serta-merta menjadi kebijakan ikut-ikutan, karena ada tren digitalisasi, tapi ini memang adalah sebuah kebijakan yang menjawab kebutuhan,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *