SURABAYA (Suarapubliknews) – Rangkaian aksi demonstrasi yang berlangsung pada bulan agustus 2025 atau yang lazim disebut gerakan 25 Agustus 2025 sebagai alarm moral bagi lembaga legislatif agar tidak kehilangan empati terhadap rakyat.
Pernyataan ini disampaikan Arif Fathoni Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, yang menyebut bahwa kemarahan publik yang muncul lewat gerakan itu bukan bentuk kebencian, melainkan teguran agar para wakil rakyat kembali pada semangat pengabdian.
“Saya memandang gerakan itu sebagai teguran dari Tuhan. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox Dei). Kalau rakyat marah, itu artinya ada pesan yang sedang disampaikan kepada kita untuk memperbaiki diri,” ujar Fathoni dalam forum diskusi publik di Taman Budaya Surabaya, Selasa (28/10/2025) malam.
Pernyataan tersebut disampaikan Fathoni dalam acara Diskusi Publik dan Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Dari Jalanan ke Meja Kebijakan: Mencari Titik Temu di Antara Tuntutan Rakyat dan Fragmentasi Politik Indonesia Pasca Gerakan Massa 25 Agustus 2025”.
Kegiatan ini digelar oleh Solidaritas Pemuda Mahasiswa Merah Putih, menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan politik dan akademisi.
Mas Toni sapaan akrab Arif Fathoni menegaskan, Gerakan 25 Agustus merupakan sinyal kuat bahwa masyarakat masih memiliki harapan terhadap lembaga DPRD.
“Kemarahan publik itu bukan kebencian, tapi bentuk cinta yang belum tersampaikan. Artinya, rakyat masih percaya bahwa kita bisa berubah,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sebagian anggota legislatif kerap terjebak dalam rutinitas birokrasi dan kehilangan kedekatan emosional dengan rakyat. Karena itu, ia mengajak DPRD agar lebih terbuka terhadap kritik dan memperkuat komunikasi publik.
“Kalau masyarakat marah, jangan buru-buru merasa diserang. Itu alarm agar kita kembali pada semangat pengabdian. DPRD tidak boleh kehilangan empati, karena tanpa empati, kekuasaan kehilangan arah,” tambahnya.
Sementara itu, Dr. Suko Widodo, M.Si, yang juga narasumber dalam diskusi tersebut menyoroti bahwa salah satu penyebab renggangnya hubungan antara rakyat dan wakilnya adalah krisis komunikasi publik yang kian diperparah oleh dominasi media sosial dan algoritma.
“Kita ini harus berkomunikasi selayaknya manusia. Selama ini, interaksi kita di media sosial dikendalikan oleh algoritma. Jadi, mari manfaatkan budaya arek Surabaya, budaya ngobrol, cangkrukan, dan terbuka untuk menjalin komunikasi yang lebih jujur,” ujar Dosen FISIP Universitas Airlangga ini.
Diskusi tersebut menjadi ajang refleksi bersama antar politisi dan akademisi dan mahasiswa. Para pembicara sepakat bahwa Gerakan 25 Agustus telah membuka ruang koreksi terhadap relasi antara rakyat dan lembaga politik, sekaligus mengingatkan para pemegang jabatan publik bahwa kekuasaan sejatinya bersumber dari suara rakyat.
“Gerakan ini adalah alarm moral. Kalau kita lalai mendengarnya, bisa jadi suatu hari rakyat berhenti bicara dan itu jauh lebih berbahaya,” tutupnya. (q cox)












