SURABAYA (Suarapubliknews) – Langkah Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang menetapkan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai syarat utama bagi penyedia makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), disambut baik oleh Yona Bagus Widyatmoko Ketua Komisi A DPRD Surabaya.
Termasuk kebijakan Pemkot Surabaya yang selanjutnya akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pelaksanaan Program MBG untuk memastikan program berjalan sesuai standar.
“Secara umum apa yang disyaratkan oleh wali kota sudah sangat tepat. Vendor MBG wajib memiliki SLHS dan harus didukung tenaga profesional yang berpengalaman dalam pengolahan makanan,” kata Yona yang akrab Cak Yebe, Senin (29/9/2025).
Cak Yebe menjelaskan, tim Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga harus bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan. Dia mengingatkan agar SPPG maupun pihak yang mengelola vendor MBG tidak menutup mata jika menemukan indikasi pelanggaran SOP di lapangan.
“Fungsi tim SPPI sebagai pelaksana lapangan harus memiliki integritas dan independensi yang kuat. Mereka harus menjadi penggerak utama yang memastikan program MBG berjalan dengan baik dan sesuai SOP,” tegas dia.
Selain memastikan distribusi berjalan tepat waktu, tim SPPI juga berperan sebagai pengawas dan edukator. Menurut Cak Yebe, mereka harus memberikan edukasi gizi kepada masyarakat sekaligus memastikan setiap anak menerima makanan bergizi yang aman.
“SPPI juga menjadi mata dan telinga pemerintah di garis depan, mengawasi sekaligus melaporkan distribusi dan operasional MBG di sekolah-sekolah berjalan dengan baik,” lanjut Cak Yebe.
Cak Yebe juga meminta Pemkot Surabaya belajar dari kejadian di daerah lain di mana program MBG bermasalah hingga menyebabkan dugaan keracunan siswa. Dia mendorong agar pengawasan diperkuat sejak awal.
“Pemerintah kota harus mengambil pelajaran dari banyak kejadian di daerah lain. Evaluasi ini penting agar program MBG di Surabaya tidak mubazir dan membawa mudarat,” tutur dia.
Cak Yebe mengusulkan pelibatan dinas kesehatan melalui puskesmas setempat untuk memantau kesehatan siswa penerima MBG. Selain itu, tim psikologi dari perguruan tinggi juga bisa dilibatkan untuk memantau perkembangan mental siswa.
“Libatkan puskesmas untuk monitoring kesehatan dan akademisi yang punya fakultas psikologi maupun pendidikan. Ini agar perkembangan siswa penerima MBG bisa dipantau dengan baik,” kata Cak Yebe.
Cak Yebe mengungkapkan, dirinya pernah melakukan uji coba di SDN Kedurus 1 selama sebulan dengan biaya pribadi. Dalam uji coba tersebut, dia melibatkan tenaga medis dan tim psikologi dari akademisi untuk memantau 330 siswa.
“Dari pengalaman itu, saya melihat pentingnya kolaborasi dengan akademisi dan dinas terkait. Kunjungan berkala minimal seminggu sekali secara acak bisa menjadi evaluasi progres siswa penerima manfaat,” jelas Cak Yebe.
Dia mengingatkan, dugaan keracunan makanan dalam program MBG bisa dipicu banyak faktor. Namun, menurut dia, kunci utamanya tetap pada sistem pengawasan yang menjadi tanggung jawab SPPG dan SPPI.
“Permasalahan keracunan itu banyak faktor, tapi semuanya kembali ke sistem pengawasan. Itu tanggung jawab penuh tim SPPG dan SPPI,” tegas dia.
Cak Yebe mengajak Pemkot Surabaya dan masyarakat untuk melakukan evaluasi sejak dini agar kejadian serupa tidak terjadi. Dia berharap program MBG di Surabaya dapat berjalan lancar dan memberi manfaat besar bagi siswa.
“Mumpung durung kedaden nang Suroboyo, ayo dievaluasi bareng. Tidak ada salahnya menerima masukan dari masyarakat demi kebaikan program ini,” pungkas dia. (q cox)