Pemerintahan

Bangunan di Jalan Raya Darmo 30 Bukan Cagar Budaya, Ini Penjelasan TACB Surabaya

185
×

Bangunan di Jalan Raya Darmo 30 Bukan Cagar Budaya, Ini Penjelasan TACB Surabaya

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Ramai pemberitaan mengenai dugaan pelanggaran terhadap pembongkaran bangunan yang disebut sebagai Cagar Budaya di Jalan Raya Darmo No. 30 Surabaya akhirnya dijawab langsung oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya.

Ketua TACB Kota Surabaya, Retno Hastijanti, menegaskan bahwa bangunan tersebut sama sekali bukan merupakan Cagar Budaya. Bahkan, menurutnya, status bangunan tersebut tidak termasuk dalam kategori Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB).

“Bangunan yang di Jalan Raya Darmo No 30 Surabaya itu bukan bangunan Cagar Budaya, bahkan juga bukan ODCG atau Objek Diduga Cagar Budaya,” kata Hasti dalam konferensi pers di Kantor Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Rabu (4/6/2025).

Hasti menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki TACB Surabaya, bangunan tersebut telah mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk perubahan bentuk pada tahun 1989. Sementara itu, Surat Keputusan (SK) Wali Kota penetapan situs kawasan Darmo sebagai kawasan Cagar Budaya baru terbit pada 1998.

“Bangunan tersebut telah mengajukan IMB di tahun 1989 untuk perubahan bangunannya. Sehingga pada tahun 1998, dimana SK situs kawasan Darmo terbit, bangunan itu bentuknya sudah seperti itu, bahkan masuk list (Cagar Budaya) saja tidak. Jadi kita sudah memvalidasi bahwa bangunan itu bukan cagar budaya,” ujarnya.

Ia menuturkan, bahwa kawasan Darmo ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya karena nilai historis dan perencanaannya yang rapi sejak awal. Penetapan itu mengacu pada SK Wali Kota Surabaya tahun 1998 yang menyebut kawasan perumahan Darmo sebagai real estate pertama di Jawa Timur yang memiliki tata arsitektur yang baik.

“Jadi itu yang dimaksudkan kawasan Darmo, yang dicatat kebudayaan itu adalah kawasannya. Jadi kalau kawasannya, berarti bentuk dari kawasan, tata atur, bangunan – bangunannya, bentuk jalannya, boulevard-boulevardnya,” jelas dia.

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat lima jenis kategori cagar budaya, yakni benda atau objek, struktur, bangunan, situs, dan kawasan. Menurut Hasti, penetapan status tersebut, tidak selalu diawali dari penemuan bangunan, bisa juga ditetapkan situsnya terlebih dahulu.

“Demikian juga yang terjadi di kawasan Cagar Budaya situs Darmo. Jadi pada saat ditetapkan, itu belum banyak yang ditemukan, apakah ada bangunan cagar budaya atau tidak, tapi kemudian setelah kita meneliti, kurang lebih ada 10 bangunan di kawasan Darmo yang merupakan Cagar Budaya,” kata dia.

Adapun 10 bangunan Cagar Budaya yang telah ditetapkan di kawasan Jalan Raya Darmo antara lain, Apotek Kimia Farma (Jalan Raya Darmo No 2-4), PT Bank CIMB Niaga (Jalan Raya Darmo No 26), Gedung Wismilak (Jalan Raya Darmo No 36-38), Graha Wismilak (Jalan Raya Darmo No 36-38) rumah tinggal (Jalan Raya Darmo No 42-44), SMP-SMA Santa Maria (Jalan Raya Darmo No 49), Bank Bangkok / Bank Permata (Jalan Raya Darmo No 73), Rumah Sakit Darmo (Jalan Raya Darmo No 90), Rumah Dinas Panglima Kodam V/Brawijaya (Jalan Raya Darmo No 100) dan Bangunan eks Museum Mpu Tantular / Perpustakaan Bank Indonesia (Jalan Taman Mayangkara/Darmo No 6).

Selain itu, Dosen Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini juga menjelaskan bahwa semua bangunan cagar budaya telah diberi penanda berupa plakat. Penandaan itu dilakukan baik di bangunan maupun di kawasan atau situsnya.

“Jadi semua bangunan dan kawasan atau situs, itu sudah kita letakkan plakat. Jadi kalau pemerintah akan merawat atau masyarakat bisa langsung tahu, bahwa ketika ada plakatnya berarti itu adalah bangunan cagar budaya,” tutur Hasti.

Ia mengakui, meski SK penetapan terbit sejak 1998, pemasangan plakat baru dilakukan pada 2008. Hal ini dikarenakan sebelumnya belum ada ketentuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mewajibkan adanya plakat.

Lebih jauh, Hasti membeberkan bahwa dalam konteks peraturan sebelumnya, yakni UU No 5 Tahun 1992, hanya dikenal dua kategori, yakni bangunan dan lingkungan cagar budaya. Namun dalam UU No 11 Tahun 2010, klasifikasi tersebut diperluas menjadi lima objek cagar budaya.

“Selanjutnya kalau itu bangunan yang bukan mendapatkan SK cagar budaya, namun dia itu ada di dalam kawasan, maka sifatnya untuk merawatnya itu partisipatif, namun kita tetap mengawal dalam koridor,” imbuhnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pemerhati sejarah dari Komunitas Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo. Menurutnya, bangunan di Jalan Darmo 30 yang dipermasalahkan tidak pernah masuk dalam daftar bangunan cagar budaya di Surabaya.

“Kami memiliki data tentang jumlah bangunan cagar budaya, terakhir ada sekitar 200 lebih. Nah, itu (Jalan Darmo 30) tidak ada, bangunan yang sekarang dimasalahkan. Makanya saya juga heran,” ujar Kuncar.

Kuncar menyebutkan bahwa kawasan cagar budaya memang ada di sekitar lokasi Jalan Darmo 30 Surabaya, namun tidak semua bangunan dalam kawasan otomatis menjadi cagar budaya. Ia mencontohkan kompleks Katedral Surabaya yang memiliki beberapa bangunan cagar budaya, namun pembangunan di antaranya tetap dimungkinkan.

“Makanya di kompleksnya katedral, gereja tidak diapapain, tapi di antara gereja dan keuskupan dibangun tidak masalah. Karena kawasan cagar budaya itu ada karena beberapa, bukan semuanya. Makanya ini yang perlu diluruskan,” jelasnya.

Terkait adanya plakat cagar budaya di sekitar Jalan Raya Darmo 30, Kuncar menilai bahwa plakat tersebut merujuk pada kawasan, bukan pada objek atau bangunan tertentu.”(Plakat) itu memang tidak merujuk di satu objek, tapi kawasan. Kecuali kawasannya berubah jadi bandara, itu merusak,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *