SURABAYA (Suarapubliknews) – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi pembicara dalam acara peluncuran program Gap Fund. Wali Kota Risma dipilih menjadi pembicara lantaran pihaknya merupakan salah satu Board Member dari Global Covenant of Mayors for Climate and Energy (GCoM). Program tersebut, digagas oleh GCoM dengan dukungan dari pemerintah Jerman dan Luxemburg serta Bank Dunia.
Gap Fund merupakan sebuah program yang akan memberikan dukungan berupa bantuan teknis dalam mendukung proyek perencanaan perubahan iklim di berbagai negara.
Acara tersebut, diikuti Wali Kota Risma secara virtual dari Rumah Dinasnya, Jalan Sedap Malam, Rabu (23/9/2020) malam. Pada kesempatan itu, wali kota perempuan pertama di Kota Pahlawan ini memaparkan strategi Surabaya dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya yakni proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang terletak di Benowo.
“Surabaya saat ini sedang mengembangkan proyek limbah menjadi energi listrik dari pengelolaan sampah. Sekitar 11 megawatt listrik yang telah dihasilkan,” kata Wali Kota Risma.
Wali Kota Risma menjelaskan, melihat peluang Gap Fund tersebut, tampaknya dapat membantu dalam membuat studi kelayakan tentang pengembangan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dapat menampung hingga seribu ton per hari. Selain itu, Wali Kota Risma menyebut, tantangan lain yang tengah dihadapi terkait dampak perubahan iklim adalah terjadinya banjir. Terutama pada tahun 2010, tercatat hampir 52 persen Surabaya banjir saat turun hujan.
“Untuk mengatasi itu, sejumlah inisiatif kami lakukan. Hasilnya laju genangan air telah diturunkan dan hanya tersisa dua persen saja,” ungkap dia.
Wali kota perempuan pertama di Kota Surabaya itu mengaku, ia bersama jajarannya secara konsisten mengembangkan berbagai program untuk menangani persoalan banjir. Mulai dari pembangunan pompa air di sepanjang sungai yang mengalir, membuat bendungan hingga waduk. Bahkan, hingga hari ini, total pompa air yang telah dibuat Wali Kota Risma berjumlah sekitar 75 titik.
“Saat air pasang, pintu air ditutup, sementara air di daratan dipompa keluar saat hujan deras. Itu yang kami lakukan,” jelas dia.
Untuk memaksimalkan upaya tersebut, Presiden UCLG ASPAC ini juga membuat program penghijauan. Di antaranya, membangun hutan kota, pembuatan taman, penanaman pohon secara rutin, konservasi kawasan pantai timur untuk mencegah bencana alam dan air pasang.
“Itu yang kami lakukan secara terus menerus. Sekarang hutan kota kami luasnya mencapai 46 hektare dan total taman sebanyak 575 lokasi,” jelas dia.
Di kesempatan yang sama, ia juga merinci upaya lain yang masih memiliki kaitan erat. Diantaranya adalah memperbaiki saluran irigasi dan diubah menjadi drainase. Menurutnya, hal itu menjadi penting untuk dilakukan. Sebab, saluran air primer akan dikeruk. Sementara saluran sekunder dan tersier diperbaiki.
“Nah kan di bawah trotoar sudah terdapat drainase tersier yang besar. Itu fungsinya dapat membantu menampung air hujan sebelum melaju ke pompa air,” urainya.
Dari semua strategi yang dipaparkan itu, Wali Kota Risma optimistis bahwa praktik terbaik bukanlah tentang penggunaan teknologi tinggi, namun keberhasilan upaya itu terletak pada kemitraan yang kuat dan rutin. Termasuk melibatkan masyarakat, pemangku kepentingan, serta tata kota yang baik dengan tetap mempromosikan teknologi sederhana dalam pelaksanaannya.
“Saya percaya praktik terbaik yang kami miliki di Surabaya dapat direplikasi di kota-kota lain karena kunci suksesnya bukanlah tentang penggunaan teknologi tinggi,” papar dia.
Seusai paparan, tampaknya audience yang terdiri dari perwakilan pemerintah daerah dan kementerian dari berbagai negara mengapresiasi penjelasan Wali Kota Risma. Buktinya, moderator bernama Martin Wright menyatakan bahwa apa yang dilakukan Wali Kota Risma patut dicontoh untuk daerah-daerah lain.
“Upaya Ibu Risma untuk adaptasi dengan perubahan iklim merupakan hal yang sangat menarik karena diambil dari langkah praktikal yang diambil di lapangan,” pungkasnya. (q cox)