SURABAYA (Suarapubliknews) – Pemberian amnesti Presiden Joko Widodo kepada guru honorer asal NTB, Baiq Nuril Maknun, tak perlu terjadi jika hakim menjalankan fungsi sebenarnya yaitu sebagai pemberi keadilan, tidak sebatas hanya memeriksa dán mengadili.
Pandangan itu diberikan Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), H. Rahmat Santoso, SH MH, terkait vonis bersalah dalam kasasi MA kepada guru asal NTB karena melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran konten asusila.
“Kasus Baiq Nuril seharusnya tidak terjadi jika pemeriksaan perkara pidana tidak didasarkan hanya atas dasar analisa kecukupan pemenuhan unsur-unsur pidana semata. Apabila praktek ini benar menjadi paradigma pemeriksaan perkara pidana saat ini di Indonesia, maka proses persidangan cukup dilakukan menggunakan robot atau kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan profesi hakim menjadi tidak relevan,” kritiknya.
Sebenarnya, lanjut Rahmat, tidak ada yang keliru dalam putusan hakim dalam perkara Baiq Nuril karena unsur-unsur pasal pidana telah terpenuhi keseluruhannya. Akan tetapi, KUHP sebenarnya juga telah mengatur antara lain alasan yang dapat menghapuskan pidana. “Jadi dimungkinkan seseorang tidak dipidana jika terpaksa membela diri untuk kehormatan,” tandasnya.
Dalam kacamata Rahmat Santoso, setelah melihat kronologis fakta-fakta hukum dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Ri Nomor 574K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018, ada tiga hal yang bisa membuat Baiq Nuril bebas tanpa perlu amnesti dari Presiden Jokowi yang saat ini sedang digodok di DPR.
Pertama, adanya serangan verbal yang dilakukan terlebih dahulu (pnor fault) oleh saksi korban kepada Baiq Nuril berupa percakapan telepon peristiwa persetubuhan sebenarnya adalah bentuk pelecehan.
Kedua, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan kepada tiap-tiap warga negara Indonesia dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan ataupun perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, khususnya kaum perempuan (baik secara fisik maupun psikis).
Ketiga, tidak terbukti adanya niatan (mens rea) dari Baiq Nuril untuk mendistribusikan materi kesusilaan, karena pentransferan data kepada saksi IM semata-mata didasarkan pada kepercayaan untuk bahan laporan kepada instansi pemerintah/ DPRD Mataram atau membela diri untuk kehormatan kesusilaan, ” ujarnya.
“Maka alasan-alasan tersebut seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai alasan menghapuskan pidana sebelum putusan pidana dijatuhkan, ” ucap pria yang kerap menangani kasus pelanggaran UU ITE ini.
Ke depan, Rahmat Santoso berharap, ketidakadilan seperti yang menimpa Baiq Nuril tidak akan terulang lagi dan Majelis Hakim di Indonesia benar-benar dapat memeriksa kebenaran materiil suatu kasus pidana secara lengkap termasuk jika ada alasan-alasan penghapus pidana.
“Semoga tidak terjadi lagi, karena sebenarnya tugas hakim tidak hanya sebatas memeriksa dán mengadili tetapi juga berpredikat selaku pemberi keadilan, ” tandasnya.
Kronologi Kasus Baiq Nuril
Nama mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun, mencuat usai dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Baiq Nuril pun merasa diperlakukan tidak adil lantaran dirinya adalah korban kasus perbuatan pelecehan yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M. Pelecehan itu disebutnya terjadi lebih dari sekali.
Rentetan kasus pelecehan itu dimulai pada medio 2012. Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh M.
Perbincangan antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal.
Merasa jengah, Baiq berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.
Naamun, akhirnya Baiq bicara kepada rekan kerja sesama guru, Imam Mudawin, soal rekaman itu. Rencananya, rekaman itu akan diberikan kepada anggota DPRD setempat dengan harapan kepala sekolah dipindah kan. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui juga, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, kepala sekolah M melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana, “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Hukumanya, enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Setelah mendapat sorotan publik, Presiden Jokowi memberikan amnesti pada tanggal 15 Juli 2019. Saat ini, pengajuan amnesti masih dibahas di DPR. (q cox)
Foto: Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), H. Rahmat Santoso, SH MH. dok