Nasional

Desak Maskapai Tunda Penerapan Bagasi Berbayar, Bambang Haryo: Kemenhub Harus Tegas

66
×

Desak Maskapai Tunda Penerapan Bagasi Berbayar, Bambang Haryo: Kemenhub Harus Tegas

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi V DPR-RI, mendesak Kemenhub dan seluruh perusahaan maskapai agar menunda penerapan bagasi berbayar karena telah menjadi kesepakatan di risalah rapat hasil gelar hearing di Komisi V, hari Selasa (28/01/2019) lalu.

Menurut Bambang Haryo, keluhan masyarakat terkait penerapan bagasi berbayar ini memang tidak sesuai dengan klasifikasi Low Cost Carier/Airlines, maka pihaknya bersama seluruh anggota Komisi V DPR RI spontan melakukan pembahasan dengan semua pihak terkait, termasuk seluruh pimpinan maskapai penerbangan.

Dalam risalah sebagai kesimpulan, kata Bambang Haryo, meminta kepada Kemenhub untuk kembali mengkaji penerapan bagasi berbayar, dan kepada perusahaan maskapai agar menunda penerapannya, sampai besarannya ditentukan oleh Kemenhub, rapatnya sekitar kemarin hari Selasa.

“Ternyata sampai saat ini masih diberlakukan, ini sudah nggak bener, karena keputusan di DPR itu merupakan keputusan bersama,” ucap politisi Partai Gerindra ini saat berada di Surabaya. Kamis (31/01/2019)

Bambang haryo menegaskan jika persoalan yang disampaikan Ini tidak ada kaitannya dengan Pemilu 2019, tetapi menyangkut pelayanan publik, jika ternyata masih diterapkan maka Kemenhub sebagai regulator tidak lagi dihargai oleh operator (perusahaan maskapai)

“Sudah beruntung, persoalan ini tidak dipolitisir oleh oposisi, karena saat ini memasuki tahun politik, apapun bisa digoreng sebagai komoditi politik, ini kan tidak, jadi apa yang saya sampaikan saat ini adalah murni terkait pelayanan publik,” tegasnya.

Bambang Haryo menerangkan, jika dasar pemberlakukan bagasi berbayar itu adalah UU yakni PM 185 tahun2015, jika penerapan bagasi berbayar itu memang boleh dilaksanakan, tetapi jumlah harga tiket low cost itu tidak boleh lebih besar dari 85 % economi full service.

“Kalau UU nya sudah bagus, untuk low cost memang dikenakan biaya bagasi, tetapi di negara lain harganya tidak lebih dari harga economi full service, makanya diperlukan peran pemerintah (Kemenhub dan Angkasa Pura) bisa segera menyiapkan terminal low cost, karena yang ada hanya terminal economi full service alias kelas atas semua,” tandasnya.

Seharusnya, kata Bambang Haryo, pemerintah saat ini harus mengakui dan menyadari jika di Indonesia ini jumlah penumpang low cost ini mencapai 80 % dibandingkan economi full service, karena rata-rata penumpangnya masyarakat kelas bawah, maka menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyiapkan terminal (bandara) kategori low cost.

Dampak dari semua ini, lanjut bambang haryo, berbagai peristiwa terjadi di bandara, salahsatunya adalah kasus ditinggalnya barang penumpang di bandara hanya karena tidak mampu bayar ongkosnya.

“Yang sangat menyayat hati, saat saya melakukan sidak di bandara. Ada salah satu penumpang yang dengan terpaksa meninggalkan barangnya, dan ternyata isinya adalah barang-barang yang sangat remeh, salah satunya mainan anak yang kondisinya sudah tidak utuh,” paparnya.

Artinya, kata Bambang Haryo, penumpang ini dari kalangan masyarakat yang paling bawah, dan barang yang ditinggal itu tentu sangat berharga bagi dia. “Makanya sampai saya meminta kepada pihak terkait untuk mengembalikan barang itu dan dibayar Rp 10 Juta, tapi nggak tau, sudah dilaksanakan apa belum, saya akan cek lagi,” lanjutnya.

Harga Barang Lebih Tinggi dari Nyawa Penumpang

Sebagai wakil rakyat di tingkat pusat, Bambang Haryo Soekartono anggota Komisi V DPR-RI, menyatakan jika selama ini maskapai penerbangan tidak lagi mengharagi nyawa penumpang, karena faktanya harga barang bagasi lebih tinggi dibandingkan harga tiket penumpang.

“Bayangkan, jika dihitung per kilo, ternyata harga bagasi barang ini lebih mahal dibandingkan penumpang (nyawa manusia), untuk barang ketemu Rp 35 Ribu per kilo dan untuk penumpang hanya ketemu angka Rp 15 Ribu per kilo, ini bukti jika nyawa publik dihargai lebih rendah dibandingkan barang. Ini yang saya tidak terima,” terangnya.

Menurut dia, harusnya harga barang nilainya lebih rendah dari harga nyawa penumpang. “Ini sebagai contoh saja, apakah anda mau dibayar Rp 1 Miliar lantas dibunuh, tentu akan menolak, tetapi anda akan rela jika barang anda dibuang tapi dibayar Rp 1 Miliar,” pungkasnya. (q cox)

Berikut cuplikan rekaman videonya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *