Pemerintahan

DLH: Kualitas Udara Surabaya hingga Pertengahan Tahun 2022 dalam Klasifikasi Baik

111
×

DLH: Kualitas Udara Surabaya hingga Pertengahan Tahun 2022 dalam Klasifikasi Baik

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Hasil monitoring Indeks Kualitas Udara (IKU) di Kota Surabaya, Jawa Timur pada rentang Januari – Mei 2022 berada pada angka 87,0874 atau dalam klasifikasi baik (70 ≤ x < 90). Angka tersebut berdasarkan hasil perhitungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya melalui sejumlah alat monitoring IKU yang terpasang di beberapa titik lokasi peruntukan. 

Kepala DLH Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro mengatakan, bahwa status mutu udara dilakukan dengan menghitung rata-rata konsentrasi parameter SO2 (Sulfur Dioksida) dan NO2 (Nitrogen Dioksida) tahunan sesuai Permen LHK Nomor 27 Tahun 2021 tentang Indeks Kualitas Lingkungan Hidup. 

“Hasil monitoring perhitungan IKU di Kota Surabaya pada rentang Januari-Mei 2022 sebesar 87,0874. Artinya, IKU di Kota Surabaya dalam klasifikasi baik,” kata Agus Hebi di kantornya, Jumat (24/6/2022).

Dalam monitoring IKU, Pemkot Surabaya melalui DLH melakukannya secara kontinyu (berkelanjutan) dan sesaat. Monitoring dilakukan menggunakan beberapa jenis alat pengukur yang ditempatkan di sejumlah titik lokasi. 

Pada pemantauan kontinyu, DLH menggunakan alat pengukur analyzer yang ditempatkan di stasiun pemantau Kantor Kelurahan Kebonsari dan Kebun Bibit Wonorejo. Pemantauan di dua lokasi itu merujuk pada parameter kualitas udara (PM10, CO, NO2, SO2, dan O3), serta meteorologi (kecepatan dan arah angin, suhu, kelembaban, curah hujan serta global radiasi).

“Pemantauan pada kedua lokasi itu menghasilkan dua data. Yaitu data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) serta data konsentrasi kualitas udara dan parameter iklim,” jelas dia. 

Tak hanya berupa alat pengukur analyzer, namun DLH Surabaya juga menggunakan sensor. Agus Hebi menyebut, pengukuran alat sensor merujuk pada parameter kualitas udara (PM10, PM 2.5, CO, NO2, SO2, dan O3), serta meteorologi (kecepatan dan arah angin, suhu, kelembaban, curah hujan, global radiasi serta UV Indeks).

“Untuk alat pengukur sensor ditempatkan di Kantor Kecamatan Tandes. Alat pengukur sensor juga menghasilkan data (output) sama dengan alat pengukur analyzer,” papar dia. 

Selain melakukan monitoring secara kontinyu, DLH juga menerapkan pemantauan sesaat. Yakni, dengan menggunakan alat Gent Stack Sampler serta Passive Sampler. Keduanya merupakan alat pencuplik udara yang lokasinya dapat dipindah-pindah sesuai dengan kebutuhan. 

Hebi menyebut, pemantauan Gent Stack Sampler merujuk pada parameter PM10, PM 2.5, black carbon dan 16 unsur logam lainnya dengan lokasi pantau berada di Terminal Tambak Osowilangun (TOW) yang dapat dipindah sesuai kebutuhan. 

Sedangkan Passive Sampler, kata dia, parameternya merujuk pada NOx dan SO2 dengan lokasi pantau SIER (Industri), Kebun Bibit (Permukiman), Jemur Ngawinan (Transportasi), dan Menanggal (Perkantoran) yang dapat dipindah sesuai kebutuhan). “Sampel dari hasil pemantauan  pada kedua alat tersebut dilakukan analisa terlebih dahulu di lab,” terang Agus Hebi. 

Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan DLH selama tahun 2017 hingga 2021, IKU di Kota Surabaya rerata nilainya sekitar 90 atau dalam klasifikasi sangat baik. “Nilai IKU kabupaten/kota merupakan hasil rata-rata dari seluruh lokasi pemantauan udara pada wilayah administrasi,” kata Agus Hebi. 

Selain IKU yang masuk dalam klasifikasi Sangat Baik, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pahlawan juga mengalami peningkatan jumlah hari baik. Data kumulatif DLH mencatat, ISPU Surabaya pada tahun 2021 untuk kategori udara Baik berada di angka 218. Lalu dalam kategori Sedang di angka 146 dan Tidak Sehat di angka 1. Artinya, selama kurun satu tahun, kualitas udara di Surabaya Baik. 

Oleh sebabnya, Hebi menyatakan, pada tahun 2021, Surabaya dapat meraih penghargaan ASEAN Environtmentally Sustainable City (ESC) kategori Udara Terbersih Kota Besar. Lewat penghargaan itu, Surabaya diakui sebagai kota yang memiliki udara terbersih se-ASEAN atau Asia Tenggara.

“Kita mendapatkan penghargaan udara terbersih dari Asean, karena Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang terus bertambah dan kondisi udara semakin baik,” ungkap dia. 

Meski demikian, Pemkot Surabaya memastikan akan terus menekan sumber emisi atau polutan udara melalui sejumlah upaya. Mulai dari manajemen transportasi yang berkelanjutan, pengelolaan limbah (sampah dan air limbah), serta pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha/ kegiatan melalui Dok Lingkungan. 

Termasuk pula, kata Hebi, melakukan pengawasan atau penegakkan hukum bagi pencemar lingkungan, mengadakan Car Free Day (CFD) berkala, uji emisi secara periodik serta mengedukasi masyarakat. 

“Selain berbagai upaya tersebut, untuk menyerap emisi karbon pemkot juga memperbanyak RTH dan hutan kota dimana terjadi peningkatan IKTL (Indeks Kualitas Tutupan Lahan/Hutan) dari tahun 2018-2021,” ujarnya. 

Data DLH mencatat, pada tahun 2018, IKTL Kota Surabaya sebesar 42,44. Lalu, pada tahun 2019 sebesar 42,6 dan di tahun 2020 sebesar 42,63. “Sedangkan pada tahun 2021, IKTL Surabaya kembali naik sebesar 42,633 dari tahun sebelumnya,” imbuhnya. 

Di tempat terpisah, Kepala Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Arie Dipareza Syafei menjelaskan, hasil data perhitungan kualitas udara yang dilakukannya sebelum pandemi dalam kategori baik. Yaitu berada di angka 60-70 persen.

“Jadi itu perhitungan sebelum pandemi, IKU Surabaya dalam kategori moderat sampai baik. Sedangkan pada waktu pandemi, datanya juga hampir sama dalam kategori baik,” kata Arie. 

Karenanya, Pakar ITS itu juga mempertanyakan data perhitungan pada aplikasi IQ Air yang mencatat jika kualitas udara Surabaya buruk. Bahkan, sampai sekarang, Arie mengakui, belum tahu di mana titik lokasi alat IQ Air dipasang di Kota Pahlawan. “Saya sampai sekarang tidak tahu titiknya (alat IQ Air) dipasang di mana. Kalau misalnya dipasang yang disampingnya ada pembangunan, ya (kualitas udara) jelek terus, debunya kemana-mana,” jelas Arie.

Bahkan, kata dia, pada laman website aplikasi IQ Air juga tak dilengkapi dengan foto lokasi penempatan alat ukur. Sehingga masyarakat hanya mengetahui kualitas udara Surabaya buruk tanpa tahu di mana lokasi sensor ukur itu dipasang.

“Sebetulnya hampir sama perhitungan AQ Air dengan IKU Surabaya, cuma dari datanya saja. Kemudian, parameternya yang partikulat berukuran kecil. Saran saya kalau mau melihat baik buruknya Surabaya memang IQ Air harus punya data tahunan,” papar dia. 

Oleh sebabnya, sebelum masyarakat menyimpulkan kondisi kualitas udara di Surabaya, Arie mengimbau agar membandingkan data tahunan milik AQ Air dengan hasil perhitungan DLH. Misalnya, data kualitas udara hasil perhitungan selama periode tahun 2020 dan 2021. 

“Karena kalau tidak begitu, maka semua bisa berpendapat, misalnya pas buka website IQ Air kualitas udara buruk, nanti persepsinya buruk terus. Idealnya memang harus dibandingkan apple to apple datanya IQ Air dengan datanya DLH,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *