SURABAYA (Suarapubliknews) – Komisi C DPRD Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait protes warga RT 02 RW 01 Dukuh Karangan, Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung. Senin (2/6/2025)
Warga menolak keberadaan proyek pembangunan gedung (nama PT tercatat oleh redaksi) yang dinilai tidak sesuai dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Kota Surabaya.
Rapat yang dipimpin oleh Alif Iman Waluyo Sekretaris Komisi C DPRD Surabaya ini sitasnya ukup memanas meki dihadiri berbagai pihak, mulai dari perwakilan warga, DPRKPP, Dinas Perhubungan (Dishub), Bagian Hukum Pemkot Surabaya, Camat Wiyung, Lurah Babatan, hingga anggota DPRD.
Dalam forum ini, suara warga terdampak mengemuka, terutama soal kekhawatiran dampak lingkungan dan keselamatan akibat rencana pembangunan basement sedalam enam meter dan gedung setinggi enam lantai di kawasan permukiman padat penduduk.
Angga, salah satu warga RT 08 yang rumahnya berbatasan langsung dengan proyek pembangunan, menyampaikan keresahannya. Ia menyoroti kondisi gang sempit dengan lebar hanya 1,5 meter yang kini digunakan sebagai akses masuk dump truk dan alat berat lainnya tanpa izin atau pemberitahuan.
“Kami khawatir longsor, apalagi di sana ada yayasan anak yatim. Kami tidak setuju jika tetap dibangun basement sedalam 6 meter karena wilayah ini zona kuning,” ujar Angga dengan nada tegas.
Ia pun meminta kejelasan dari pemerintah kota apakah pembangunan basement di tengah permukiman padat memang diperbolehkan secara aturan.
Perwakilan dari DPRKPP, Sugeng, menjelaskan bahwa IMB telah dikeluarkan pada Oktober 2022 untuk pembangunan gedung enam lantai dengan satu lantai basement.
Menurutnya, izin tersebut sesuai dengan peruntukan zona perdagangan dan jasa. Ia juga menyatakan bahwa tanggung jawab terhadap dampak kerusakan lingkungan atau bangunan warga berada di pihak pengembang. Namun, jawaban itu dinilai normatif dan tidak meredakan kekhawatiran warga.
Sementara itu, perwakilan dari Dishub, Widodo, menyoroti penggunaan akses jalan gang yang tidak sesuai dengan kelas jalan. Jalan kampung tersebut sejatinya masuk kategori jalan kelas tiga, yang hanya boleh dilalui kendaraan dengan berat maksimal 8 ton.
Namun dalam praktiknya, proyek menggunakan kendaraan berat yang melebihi batas tersebut. “Itu seharusnya sudah ditindak oleh kepolisian, tapi hingga kini belum ada penindakan,” ujarnya. Dishub juga menegaskan bahwa pengembang telah berjanji memperbaiki fasilitas umum yang dibongkar, namun implementasi di lapangan belum jelas.
Anggota Komisi C, Sukadar, menyayangkan terbitnya IMB yang memberikan akses melalui gang kecil. Ia menilai telah terjadi kekeliruan administratif karena seharusnya akses proyek melalui Jalan Raya Menganti, bukan jalan kampung.
“Ini kesalahan sistematis yang seolah-olah dilegalkan. Kalau memang ada pelanggaran, Pemkot harus bertindak tegas,” tegasnya. Ia menuntut tindakan nyata dari DPRKPP untuk mengevaluasi ulang izin dan menindak pelanggaran prosedural yang terjadi.
Siti Maryam, anggota Komisi C lainnya, menekankan pentingnya menggunakan bahasa yang sederhana dan tegas dalam menyampaikan hasil RDP. “Ini soal kekhawatiran warga. Kalau basement itu tidak aman, harus dihentikan. Jangan menunggu longsor baru bertindak,” ucapnya.
Ia juga menyoroti belum meratanya pemberian kompensasi kepada warga terdampak dan meminta pemerintah lebih bijak dalam menengahi konflik antara warga dan pengembang.
Rapat tersebut ditutup dengan sejumlah catatan penting, termasuk permintaan untuk mengevaluasi izin proyek, memastikan keselamatan warga, serta menjembatani komunikasi antara warga dan pengembang.
Komisi C juga meminta aparat penegak hukum dan instansi teknis untuk bersikap tegas dalam menegakkan aturan terkait pelanggaran kelas jalan dan gangguan lingkungan. (q cox, fred)