Pemerintahan

Eri Cahyadi Beberkan Strategi Pemkot Surabaya Menjaga Kesetaraan Sekolah Negeri dan Swasta

112
×

Eri Cahyadi Beberkan Strategi Pemkot Surabaya Menjaga Kesetaraan Sekolah Negeri dan Swasta

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus berupaya untuk menghilangkan kesan dan anggapan bahwa ada perbedaan antara sekolah negeri dan swasta. Stigma semacam itu ke depannya akan terus dihilangkan di tengah-tengah masyarakat. Pemkot pun telah menyiapkan berbagai strateginya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi mengatakan semuanya harus sepakat bahwa pendidikan 9 tahun itu wajib. Makanya, ke depannya pemkot berkomitmen untuk tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, kalau hanya mengandalkan negeri saja tidak cukup.

“Nah, ketika masuk swasta, maka infrastrukturnya juga harus sama, termasuk laboratorium dan sebagainya harus sama, sehingga kita akan support betul ke depannya, dengan catatan sekolah swasta itu harus menaikkan gradenya,” kata Eri, Senin (24/8/2020).

Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara sekolah swasta menaikkan gradenya? Eri menjelaskan harus disepakat bahwa rombongan belajar (rombel) setiap sekolah negeri dan swasta sebanyak 32 siswa, dengan maksimal masing-masing kelas 11 kelas. Artinya, kelas 1 ada 11 kelas, kelas 2 ada 11 kelas dan kelas 3 ada 11 kelas juga.

Oleh karena itu, bagi sekolah yang rombelnya diatas 32 siswa, maka pemkot pun terus mencarikan solusinya. Salah satunya dengan menambah kelas lagi. Penambahan kelas itu bukan untuk menerima siswa baru, melainkan untuk menampung siswa yang lebih dari rombel tersebut. Misalnya sudah ada sekolah yang menerima rombel 40 siswa, maka 8 siswa di rombel tersebut harus pindah ke kelas yang baru dibangun.

“Kemarinnya kita sudah hitung-hitungan dengan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan pihak guru, jika siswanya sampai 40 orang, guru merasa agak kesulitan untuk menguasai muridnya, sehingga rombel 32 itu sudah cukup,” kata dia.

Selain itu, mulai tahun 2019, Pemkot Surabaya sudah menghitung Bopda itu berdasarkan rombel, bukan per kepala lagi. Makanya, dia berharap kebijakan ini akan bisa menyelesaikan masalah dan nantinya tidak ada perbedaan lagi antara sekolah negeri dan swasta.

Di samping itu, Eri juga menjelaskan bahwa harus ada keterbukaan antara pemerintah dan pihak sekolah. Terbuka dalam hal jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah masing-masing, baik negeri maupun swasta. Apalagi, saat ini Dispendukcapil Surabaya sudah menyiapkan data berapa anak SD yang lulus dan akan masuk ke jenjang SMP, sehingga sejak awal sudah bisa dihitung apakah sekolah di suatu daerah atau kecamatan itu kurang atau sudah cukup.

“Jadi, tahun 2021 Bulan Juli nanti, aka nada data dari Dispendukcapil tentang berapa anak yang lulus SD dan akan masuk ke SMP. Insyallah dengan data itu kita akan tahu sebaran siswa itu, sehingga posisinya nanti akan menerima jumlah siswa sama,” ujarnya.

Kemudian, begitu ada sekolah di salah satu kecamatan yang kurang, nanti akan kita bangunkan sekolah atau hanya menambah kelas baru. Tapi sekali lagi, dengan catatan tidak mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta. “Melalui berbagai cara itu, mungkin kita akan bisa menyelesaikan wajib sekolah 9 tahun,” imbuhnya.

Eri menambahkan, Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerjasama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa. Bentuknya, para pengusaha itu memegang anak asuh, sehingga pengusaha itu membantu anak asuhnya dalam biaya pendidikannya.

“Ini sudah berlaku dan akan terus kami kembangkan, sehingga semua pihak berkontribusi dalam mengembangkan pendidikan di Kota Surabaya,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *