SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Seminar Industri Kreativitas dan Kesadaran Konsumen dalam Modest Fashion yang menjadi bagian dari rangkaian Festival Ekonomi Syariah (Fesyar) 2025, kembali menegaskan peran strategis Indonesia dalam industri fashion halal dunia.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Muhamad Nur, saat membuka acara menekankan pentingnya sinergi antara pelaku industri, akademisi, dan masyarakat untuk memperkuat ekosistem modest fashion yang halal, inklusif, dan berkelanjutan. Industri modest fashion Indonesia telah menunjukkan potensi besar dan bahkan berada di peringkat pertama dunia.
“Bank Indonesia berkomitmen mendukung pengembangannya, baik dari sisi pembinaan UMKM, peningkatan kapasitas desainer, maupun akses ke pasar internasional. Harapannya, sektor ini tidak hanya berkontribusi pada ekonomi syariah, tetapi juga membuka lapangan kerja luas bagi masyarakat,” ujarnya.
Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia kini menempati peringkat pertama dalam sistem modest fashion 2025, naik dari posisi ketiga sebelumnya. Potensi ini semakin relevan dengan pertumbuhan pasar halal global, yang diproyeksikan mencapai triliunan dolar AS pada 2028, serta proyeksi penduduk muslim dunia yang mencapai 2,8 miliar pada 2050.
Founder & CEO KaIND sekaligus sustainable fashion expert, Melie Indarto menekankan bahwa modest fashion bukan sekadar tren busana, melainkan bagian dari ekonomi global bernilai 2,4 triliun dolar AS.
“Industri fashion Indonesia perlu menonjolkan kearifan lokal sebagai DNA brand, sembari menerapkan prinsip halal, etis, dan ramah lingkungan. KaIND sendiri menggandeng lebih dari 1.900 petani lokal dalam memproduksi tekstil berkelanjutan, mulai dari serat nanas hingga sutra eri,” katanya.
Direktur PT Dialesha Indonesia Global, Anggia Mawardi menyoroti peluang ekspor modest fashion Indonesia, khususnya ke negara-negara muslim dan komunitas diaspora di Eropa. Menurutnya, UMKM masih menghadapi tantangan berupa dominasi eksportir besar dan keterbatasan akses pasar. “Strategi yang perlu diperkuat adalah kehadiran digital, promosi sejak dini sebelum pameran, dan penetapan harga yang kompetitif di pasar internasional,” jelasnya.
Akademisi Islamic Fashion Institute sekaligus fashion designer, Anita Yuni Kholillah mengingatkan bahwa limbah tekstil di beberapa daerah, seperti Banyuwangi, bisa mencapai 1,2 ton per bulan dan berkontribusi pada pencemaran mikroplastik.
Anita memperkenalkan konsep Responsible, Renewable, dan Circular fashion, dengan inovasi berupa upcycling limbah, kancing berbahan plastik daur ulang, hingga pemanfaatan energi surya. Brand yang ia kembangkan bahkan berhasil mencapai status karbon netral. “Fashion halal bisa menjadi gerakan lingkungan nyata yang menggabungkan gaya, nilai spiritual, dan keberlanjutan,” ujarnya.
Public figure Natasha Rizky, yang juga dikenal sebagai artist and entrepreneur, berbagi pengalaman membangun brand modest fashion miliknya. Menurutnya, tantangan terbesar modest fashion lokal adalah persaingan dengan produk impor murah serta daya beli masyarakat yang fluktuatif.
“Komunitas loyal, kolaborasi, dan narasi branding yang kuat sangat penting untuk menjaga identitas brand. Konsistensi dan inovasi produk harus terus dijaga agar modest fashion Indonesia mampu bersaing di pasar global,” ungkapnya.
Seminar yang merupakan bagian dari Fesyar 2025 ini ditutup dengan optimisme besar terhadap masa depan modest fashion Indonesia. Dengan dukungan pemerintah, pelaku industri kreatif, akademisi, dan masyarakat, Indonesia diyakini mampu menjadi pusat modest fashion dunia. “Harapannya, fashion muslim Indonesia bukan hanya mengikuti tren, tetapi juga membangun identitas global yang modis, percaya diri, sekaligus berkelanjutan,” tutup M Nur. (q cox, tama dini)