SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Ada yang unik dari jejak kreatif Hamid Nabhan, seniman lintas medium yang tetap setia pada lanskap Madura sebagai ladang estetiknya. Meski telah melintasi ribuan sapuan kuas dan lembar-lembar buku sastra, Hamid justru tengah kembali pada akar medium yang dulu membentuk awal kariernya: cat minyak.
“Warnanya lebih ningrat, Lebih matang. Ada sesuatu dari oil yang tak bisa saya temukan di akrilik,” ditemui disela pembukaan Pameran Ruang Estetika Merdeka Dalam Rupa yang merupakan kolaborasi antara Wyndham Surabaya dan Adhicipta Art Community sebagai wujud apresiasi dan semangat berekspresi dalam menjaga kehidupan berbangsa melalui seni.
Dalam setahun terakhir, Hamid kembali melukis menggunakan cat minyak setelah sempat lama beralih ke akrilik. Alasannya bukan hanya soal stok cat minyak yang menumpuk di studio, tapi juga karena ia merasa ekspresi warna yang bisa dihasilkan jauh lebih dalam dan hidup.
Meski harus berhadapan dengan proses pengeringan yang jauh lebih lambat dan aroma menyengat khas media oil, ia tak keberatan. “Warnanya semakin matang seiring waktu. Ada keanggunan di situ,” katanya.
Bukan hanya media yang berubah, Hamid juga mengubah pendekatan tekniknya. Kini ia lebih sering melukis dengan pisau palet dibanding kuas. Menurutnya, alat ini menghadirkan tekstur yang lebih tajam, lebih jujur. “Kadang masih pakai kuas, tapi lebih banyak pakai palet. Ada karakter tersendiri yang bisa saya bangun dari situ,” jelasnya.
Dalam karya-karyanya, Hamid tetap konsisten pada objek favoritnya: lanskap Madura. Tapi bukan lanskap dalam pengertian konvensional. Ia tertarik pada permainan bentuk dan irama warna dari awan dan pohon, terutama di saat kemarau momen yang dianggapnya memiliki kualitas estetika kontras yang sangat kuat. “Kalau musim penghujan semuanya hijau, datar. Tapi saat kemarau, warna bisa berubah dramatis, memberi dinamika. Di situ estetika kontras saya temukan,” tuturnya.
Konsep “estetika kontras” inilah yang kemudian menjadi ruh dalam karya-karya terbarunya, dan sekaligus menjadi bagian penting dalam buku terbarunya Aku dan Impresionis—sebuah karya tulis yang tidak hanya memuat lukisan, tapi juga teori impresionisme versi Hamid sendiri.
Hamid mengaku mulai mendalami seni lukis sejak kecil, namun baru benar-benar serius sejak 1999. Sejak itu, ia terus berpameran—bermula dari partisipasi bersama hingga akhirnya pameran tunggal pertama pada 2008, hingga terakhir pada 2017 “Waktu itu bareng peluncuran buku puisi Pohon,” paparnya.
Kini, Hamid sedang mempersiapkan pameran tunggal berikutnya. Ia ingin agar karya-karya barunya yang berbasis cat minyak bisa tampil berdampingan dengan karya-karya akrilik yang sudah lebih dulu hadir dalam buku. “Saya ingin karya ini matang secara ide, bukan hanya visual,” ungkapnya.
Meski mengakui pernah merasa jenuh, ia tidak pernah berhenti berkarya. Saat tidak melukis, Hamid menulis puisi, membuat lagu, atau mencatat perjalanan dalam bentuk esai dan cerpen. “Saya sudah bikin lebih dari 50 buku,” lanjutnya. Bahkan, satu cerpen pun sudah ia anggap layak menjadi satu buku.
Dalam konteks pameran yang ia ikuti kali ini—yang digagas komunitas seni Adhicipta Art Community —Hamid melihat seni sebagai bentuk pengisian kemerdekaan. “Sudah waktunya kita bergandeng tangan, saling mengisi,” tutupnya.
Dengan lebih dari 36 tahun pengalaman, ribuan lukisan, puluhan buku, dan pandangan mendalam tentang estetika dan sejarah, Hamid Nabhan bukan hanya pelukis, tapi penjaga denyut kesenian yang terus mencari harmoni di antara warna, kata, dan makna. (q cox, tama dini)