SURABAYA (Suarapubliknews) – A.H Thony Wakil Ketua DPRD Surabaya menyorot tajam terkait rencana Pemkot Surabaya melalui BUMD nya yakni PD.Surya Sembada, yang akan menaikkan tarif dari Rp 3.600 menjadi Rp 4.070/m3.
Politisi Partai Gerindra ini menuturkan, jumlah pelanggan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah warga yang belum menikmati aliran air bersih dari PDAM. Artinya, peningkatan pelayanan jauh lebih penting ketimbang harus menambah jumlah pelanggan.
“Jika ada keinginan untuk menaikkan tarif hingga 400 persen itu, harusnya PDAM Surabaya lebih mendahulukan perbaikan layanannya terhadap pelanggan yang sudah ada, daripada berorientasi ke penambahan jaringan untuk pelanggan baru. Dengan cara meningkatkan kualitas airnya,” tutur A.H Thony kepada sejumlah awak media. Selasa (29/11/2022)
Mengaku mendapatkan penjelasan dari jajaran Direksi PDAM jika aliran di wilayah Surabaya kecil, menurut A.H Thony sangat wajar karena lokasi produksinya di Ngagel dan harus di pompa sejauh ber kilo- kilometer.
“Ini masalah teknis saja. Harusnya, PDAM bikin tempat penampungan (reservoir) yang fungsinya menampung debit air saat masyarakat tidur (tidak ada aktifitas). Di pagi harinya, baru dipompa ke jaringan distribusi disana. Ini solusinya. Begitu juga caranya untuk bisa menjangkau wilayah lainnya,” tandas A.H Thony.
Maka, kata A.H Thony, menjadi sangat tidak pas apabila rencana kenaikan tarif tersebut semangatnya untuk perbaikan pipa. Yang benar adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pelanggan yang sudah ada.
“Perbaikan pelayanan tidak harus dengan cara perbaikan pipa. Coba saja lakukan cara lain. Salah satunya teknik penggelontoran (flushing) secara berkala agar pipa yang menyempit atau buntu akibat endapan itu bisa terselesaikan. Gandeng ahli flushing dulu, jangan ‘ujug-ujug’ muncul wacana ganti pipa yang biayanya sangat mahal,” ucapnya.
Tak hanya itu, A.H Thony juga memberikan pandangan yang berbeda soal kebijakan gratis untuk kelompok rumah yang jalan depan rumahnya selebar 3-5 meter dengan luas bangunan rumah 36-45 tetapi kurang dari 120 meter persegi, yang dulunya penggunaan air mulai dari 0-10 per meter kubik senilai Rp500.
“Itu baik, tetapi tidak mencerminkan hak dan kewajiban masyarakat. Sementara dalam UU, setiap warga negara diatur hak dan kewajibannya. Jika ada warga yang ingin mendapatkan layanan, maka kewajibannya mendaftar dan membayar biaya minimal, yakni biaya pemasangan meterannya saja. Kalau ini dihilangkan, maka sama dengan menghilangkan kewajibannya sebagai warga negara,” tandasnya.
Maka dari itu, lanjut A.H Thony, ini bertentangan dengan semangat bangkitnya perekonomian, karena bisa jadi, warga yang mendapatkan program gratis ini justru merasa di manjakan dan bertahan dengan statusnya sebagai warga miskin.
“Bisa jadi mereka justru krasan dengan stempel miskin karena bisa menikmati layanan gratis soal apapun. Padahal, kita ini justru sedang memberantas status warga miskin. Ingat, status orang miskin miskin itu menjadi mush bersama lho. Agar statusnya naik dan bisa menjadi kaya,” pungkasnya. (q cox)