SURABAYA (Suarapubliknews)— Putusan yang berdasarkan rasa keadilan menjadi harapan masyarakat yang sedang berperkara di Pengadilan Negeri Surabaya, karena sebelumnya muncul beberapa putusan yang dianggap tidak lazim, bahkan cenderung kontroversial.
Untuk itu, masyarakat pun diingatkan agar tetap mengawal proses peradilan agar tidak ada lagi korban yang kehilangan haknya akibat putusan yang luput dari rasa keadilan.
Salah satu perkara yang sempat menghebohkan publik adalah Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN Sby yang membebaskan terdakwa Gregorius Ronald Tannur, meskipun perbuatannya diduga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang secara terang dan nyata.
Untungnya, Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara register Nomor 1466 K/Pid/2024 mengoreksi putusan tersebut, dan mengembalikan kepercayaan publik bahwa sistem hukum masih berpihak pada korban bila dikawal secara cermat.
Namun belum reda kontroversi tersebut, perkara baru kembali muncul di PN Surabaya—Perkara Perdata Nomor 710/Pdt.G/2024/PN Sby—yang kembali menimbulkan kekhawatiran akan potensi putusan yang bisa menyimpang dari substansi hukum yang jelas.
Dalam perkara ini, Tan Lidyawati Gunawan menggugat menantu dan cucunya sendiri: Ng. Winaju, Amelia Agatha Gunawan, dan Figo Fernando Gunawan, dengan dalil bahwa dirinya telah menitipkan sejumlah barang, termasuk sertifikat, uang, dan satu unit mobil, kepada mereka.
Namun, menurut tim kuasa hukum Para Tergugat, tidak satu pun bukti otentik, yang secara jelas menunjukkan telah terjadi penyerahan atau penitipan barang-barang sebagaimana didalilkan oleh Penggugat.
Padahal, menurut Pasal 1697 KUHPerdata, penitipan merupakan perjanjian riil yang baru dianggap sah bila benar-benar ada penyerahan fisik atas objek yang dititipkan.
“Ini bukan soal emosional, ini soal hukum. Dalam hukum perdata, tak cukup hanya klaim. Harus dibuktikan secara konkret bahwa objek telah diserahkan, karena perjanjian penitipan adalah perjanjian riil, bukan konsensuil,” ujar pengacara Para Tergugat, Xavier Nugraha, S.H., sembari mengutip pendapat ahli Dr. Lintang Yudhantaka, S.H., M.H. yang telah dihadirkan dalam persidangan.
Sementara itu, salah satu tergugat, Ng. Winaju, mengaku terkejut dan merasa gugatan ini tidak mencerminkan kehendak sebenarnya dari ibu mertuanya. Ia bahkan menduga ada intervensi pihak ketiga yang memengaruhi gugatan tersebut.
“Saya percaya mama mertua saya tidak sepenuhnya memahami gugatan ini. Bahkan saat saya tanyakan langsung, seingat saya beliau sempat bilang akan meminta anak-anaknya mencabut gugatan,” jelasnya.
Di jelang putusan, masyarakat hukum pun berharap agar Majelis Hakim PN Surabaya bersikap obyektif, mempertimbangkan seluruh aspek hukum dan fakta secara menyeluruh, serta tidak kembali mengeluarkan putusan yang mencederai rasa keadilan, seperti yang sempat terjadi di perkara Ronald Tannur.
Sudah saatnya PN Surabaya menghindari label sebagai “penghasil putusan unik” yang menyimpan makna negatif. Ketika hukum sudah jelas, maka keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi. (q cox, Tggl)