SURABAYA (Suarapubliknews) – Permasalahan antara pihak pengembang dengan warga nampaknya masih sering terjadi di Surabaya. Seperti yang dialami salah satu warga di perumahan Surabaya Barat, Edi Tarmidi Wijaya.
Dia mengeluhkan kesewenang – wenangan pihak pengembang di Surabaya Barat yang menarik retribusi dan iuran yang sangat mahal tanpa persetujuan dari warga. Sehingga menimbulkan polemik yang hingga saat ini belum terselesaikan.
“Padahal kita sudah beli perumahan itu, bahkan kita sebagai warga Negara sudah membayar pajak PBB, masak kita disuruh bayar lagi yang notabene tidak ada dasar hukumnya,” Keluh, Edi kepada media, Kamis (4/11/2021).
Edi menjelaskan, padahal sudah pernah ada keputusan dari Mahkamah Agung (MA) yang saat itu di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, bahwa biaya perawatan dan pengelolaan lingkungan menjadi tanggung jawab pengembang bukan warga.
“Berdasarkan aturan seharusnya pengelolaan lingkungan yang biasa disebut fasum atau fasos harus diserahkan ke pemkot terlebih dahulu, jika pengembang tidak mau menyerahkan berarti dia (pengembang) siap bertanggungjawab,” jelasnya.
Edi mengatakan, jikalau memang warga ditarik untuk iuran itu tidak menjadi masalah. Namun, harus sesuai kesepakatan bersama tidak seenaknya sendiri tanpa mendapat persetujuan dari warga. “Jadi asasnya ialah gotong – royong, kebersamaan bukan asal main tarik saja. Tapi bukan dijadikan pendapatan pengembang,” katanya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh salah satu pelaku usaha Profider internet. Direktur Operasi PT. Artorius Telemetri Sentosa – Turbo Internet, Ariefandhy. Ia mengatakan, ketika ingin memasang internet disalah satu rumah warga timnya di haling – halangi oleh pengembang melalui security perumahan tanpa alas an yang jelas padahal diijinkan oleh warga.
“Padahal kami sudah mengajukan surat ijin hampir satu bulan yang lalu ke pihak pengembang tapi ngak ada jawaban sam sekali,” ucapnya.
Dia berharap, kepada eksekutif (pemerintah) melakukan penegakan hukum undang – undang yang berlaku. Artinya, pengembang hanya berfungsi membangun dan menjual perumahan tapi tidak mengatur segala aktivitas warga selama itu poritif.
“Harapan kami dari anggota DPRD benar – benar mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap pengembang. Sehingga kami sebagai pelaku usaha bisa menjalankan usaha kami dengan lancar, kecuali usaha uang negative,” harapnya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Nanang Sutrisno, SH, MM mengatakan, hal ini memang masih menjadi masalah krusial yang dialami warga. Maka darni itu LBH akan melakukan pendampingan sampai permasalahan ini bisa terselesaikan.
“Saya akan mengajukan surat permohonan agar dapat segera di hearingkan (dengar pendapat) di DPRD Kota Surabaya supaya permasalahan ini dapat segera diselesaikan. Saya berharap saat hearing nanti pihak – pihak terkait dapat menghadiri,” katanya.
Nanang menambahkan, pemerintah harus mengetahui bahwa banyak masyarakat menjadi korban dari regulasi yang diberikan pihak pengembang yang membuat aturan sendiri tanpa kesepakatan dari semua pihak.
“Sebenarnya ini banyak sekali pasal – pasal yang dilanggar oleh pengembang, terutama kaitanya dengan pelaku usaha, misalnya ada warga yang ingin memasang internet tapi itun dihalang – halangi oleh pengembang,” pungkasnya. (q cox, Gtr)