SURABAYA (Suarapubliknews) – Tertanggal 2 September 2019 pukul 11.21 wib, Approve BAP CV. Bintang Terang telah diupload melalui sistem simply BBKSDA Jatim, yang artinya tahapan Berita Acara Pemerikasaan (BAP) yang dilaksanakan KSDA Wilayah Jember-Banyuwangi telah diterima dan disetujui.
Menurut Kepala Sub Bagian Data, Evaluasi, Pelaporan dan Kehumasan BBKSDA Jatim, Gatut Panggah Prasetyo. “Sudah di approve. Seperti dulu, akan dilakukan verifikasi data dan sarpras. Saya konfirmasi ke teknis sudah ok BAP nya,” jawab Gatut saat dikonfirmasi media ini. Senin (02/08/2019)
Gatut menerangkan, bahwa tahapan selanjutnya adalah proses rekomendasi ijin sesuai permohonannya, apakah untuk F0 atau F2.
F0 maksudnya indukan yang digunakan dari alam, dari titipan hasil sitaan atau penyerahan, tidak bersertifikat, sedangkan F2 dan seterusnya artinya indukan yang digunakan dari penangkaran dan satwa tersebut bersertifikat.
“Jika permohonan nya F0, BBKSDA akan memproses rekomendasi ke Dirjen KSDAE, karena untuk F0 untuk satwa yang dilindungi UU, SK ijin penangkarannya harus dari Dirjen KSDAE, tapi jika untuk F2 dan seterusnya, SK ijin penangkarannya dari Kepala Balai Besar. Kalau untuk CV Bintang Terang sepertinya F0, jadi BBKSDA Jatim nerbitkan rekomendasi” terangnya.
Merespon hal ini, Singky Soewadji pemerhati satwa liar asal Surabaya yang kini menjadi salah satu penerima mandat (kuasa) dari terpidana Kristin, mengatakan jika harusnya sejak bulan Januari 2019. Artinya, tidak berlarut-larut hingga delapan bulan.
“Kalau ijin saat itu jadi, maka Bu Kristin tidak bisa dipidana, karena terbukti ijin bisa diterbitkan, berarti ijin mati adalah masalah administrasi, kalau pidana maka ijin tidak bisa terbit, makanya BBKSDA Jatim berupaya menghambat hingga hari ini ijin tersebut tidak jadi, bahkan sebelumnya sempat disarankan ganti nama,” tuturnya.
“Kalau kasus ini tidak direkayasa, sejak awal pengajuan ijin sudah diproses, tapi karena sudah direkayasa maka ijin hingga hari ini masih belum ada,” tambahnya.
Singky mengaku jika dirinya telah mengetahui sejak awal arah skenario hukum yang direncanakan, dan belakangan terbukti dengan vonis hakim yang memberikan putusan pidana kepada Kristin, satwa disita negara dan muncul kata pelepasliaran.
“Perintah pengadilan satwa disita untuk negara dan dilepasliarkan. Bahasa dilepasliarkan ini bahasa titipan, nanti Kasubdit Dr Haryono akan lapor ke Dirjen soal hasil temuannya dilapangan,” tandasnya.
Karena menurut Singky, harusnya putusan itu cukup berbunyi disita untuk negara, dan menjadi aneh ketika disisipi kalimat ‘dilepasliarkan’ pasalnya masalah ini sudah menyangkut teknis.
“Dilepasliarkan itu teknis banget, bukan ranah hakim, ini ranah konservasi dan belum ada ahli termasuk Prof Alikodra berani langsung menyarankan satwa dari penangkaran untuk dilepasliarkan, bisa terjadi musibah pembunuhan masal,” kritiknya.
Yang saya sayangkan, kata Singky, sekarang penempatan burung dan cara eksekusi sangat mengabaikan Ethic and Walfare.
“Hanya demi kepuasan proyek pelepasliaran dan bagi-bagi burung, yang bahasa saya (maaf) dirampok dari penangkaran yang terbaik di Indonesia, yang seharusnya dibina. Tapi saya tetap percaya, Pak Dirjen adalah sosok yang bersih dan akan bijaksana menyelesaikan kasus ini,” paparnya.
Kepada media ini, Singky juga mengungkapkan jika dirnya pernah memberikan masukan kepada Dirjen KSDAE untuk mengabulkan permohonan dan menerbitkan ijin untuk CV. Bintang Terang.
“Seperti saran dan masukan saya sejak awal, yaitu Ijin segera diterbitkan, burung sudah disita dan wewenang negara dalam hal ini KLHK menitipkan ke CV Bintang Terang untuk pemanfaatan sesuai aturan dan UU,” tutupnya. (q cox)