SURABAYA (Suarapubliknews) – Komisi D DPRD Kota Surabaya mulai tancap gas membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Rapat Panitia Khusus (Pansus) yang digelar pada Senin (22/12/2025) ini menjadi momentum krusial bagi perlindungan ribuan pekerja di Kota Pahlawan, baik yang bekerja di kantoran maupun mereka yang mengadu nasib di sektor informal.
Diskusi berlangsung hangat saat anggota Pansus, dr. Zuhrotul Mar’ah, menyoroti pentingnya keseimbangan antara hak pekerja dan kewajiban pengusaha. Ia mengungkapkan kekhawatirannya jika regulasi ini tidak disusun secara komprehensif atau terpisah-pisah, maka beban bagi investor di Surabaya akan terasa berat.
“Saya khawatirnya kalau yang dipisah tidak jadi satu kesatuan, nanti pengusaha menjadi agak keberatan dari investasi di Surabaya. Kita melihat ini bagus karena ada hak dan kewajiban yang mengakomodir para pekerja, sehingga ada keseimbangan antara pemberi kerja dan pekerjanya,” ujar Zuhrotul.
Senada dengan hal itu, dr. Michael Leksodimulyo memberikan testimoni nyata mengenai betapa krusialnya jaminan sosial bagi masyarakat kelas bawah. Ia mengisahkan seorang petugas kebersihan (OB) dari perusahaan kecil yang mendapatkan santunan luar biasa saat tertimpa musibah.
“Dua anaknya bisa sekolah dan istrinya mendapatkan santunan yang luar biasa. Meski perusahaannya kecil dan upahnya tidak banyak, perlindungan ini nyata manfaatnya,” tuturnya menekankan bahwa omzet perusahaan bukan alasan untuk mengabaikan hak perlindungan tenaga kerja.
Sekretaris Pansus, Johari Mustawan, sempat mempertanyakan urgensi penyatuan seluruh unsur ketenagakerjaan ke dalam satu Raperda atau tetap fokus pada jaminan sosial. Ia mengingatkan bahwa penggabungan materi memerlukan proses birokrasi yang panjang di Bapemperda.
Namun, dari sisi eksekutif, Juru Bicara Bakumkarsa Pemkot Surabaya, Firly, menjelaskan bahwa payung hukum ini merupakan amanat Instruksi Presiden (Inpres) tahun 2021. Menurutnya, keberadaan Perda sangat penting untuk memberikan sanksi yang lebih mengikat dibandingkan Peraturan Wali Kota (Perwali).
“Bedanya Perda dan Perwali di sini hanyalah terkait dengan sanksi. Kalau Perwali tidak terlalu mengikat, tapi kalau Perda ada sanksi yang lebih kuat,” jelas Firly.
Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Surabaya Karimunjawa, Adventus Edison Souhuwat, menambahkan bahwa Perda ini akan mendorong perlindungan bagi empat segmen pekerja, termasuk pekerja bukan penerima upah (BPU) seperti tukang bakso dan pedagang kaki lima.
Ia memaparkan dengan iuran hanya Rp16.800 per bulan, pekerja sudah terlindungi dari risiko kecelakaan kerja dan kematian, termasuk beasiswa pendidikan untuk dua anak hingga jenjang perguruan tinggi.
Kepala Disperinaker Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro, mempertegas bahwa Raperda ini dirancang untuk melindungi seluruh warga, termasuk ojek online (gojek), pekerja proyek, pembantu rumah tangga, hingga tukang becak.
“BPJS Kesehatan tidak meng-cover kecelakaan kerja. Kalau tukang bakso ketumpahan air panas, yang meng-cover adalah BPJS Ketenagakerjaan. Selama dia tidak bekerja, yang menggaji adalah BPJS Ketenagakerjaan,” papar Hebi.
Menutup rapat, Ketua Pansus, Abdul Malik, menekankan pentingnya akurasi hukum dalam penyusunan regulasi ini. Pihaknya tidak ingin terburu-buru tanpa landasan kuat, sehingga dalam waktu dekat Pansus akan memanggil para pakar jaminan sosial ketenagakerjaan untuk memastikan substansi perda tidak melenceng dari koridor undang-undang yang berlaku.
Ia memastikan seluruh masukan dari Disperinaker, Dinsos, Bakumkarsa, hingga BPJS akan diramu bersama pendapat ahli agar Surabaya memiliki regulasi ketenagakerjaan yang paling ideal dan manusiawi. (q cox, Fred)












