Pemerintahan

LPA Jatim Usul Kolaborasi Lintas Sektor Bina Remaja Pelaku Tawuran Lewat RPA

73
×

LPA Jatim Usul Kolaborasi Lintas Sektor Bina Remaja Pelaku Tawuran Lewat RPA

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Non-Governmental Organization (NGO), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mengusulkan pendekatan baru terhadap penanganan remaja pelaku kekerasan. Pendekatan itu melalui pembinaan di Rumah Pemulihan Anak (RPA) yang berbasis rehabilitasi dan pendidikan karakter.

Usulan ini disampaikan oleh Pengurus LPA Jawa Timur sekaligus pemerhati kebijakan sosial, M Isa Ansori. Hal ini menyusul kasus tawuran antar kelompok remaja yang terjadi di kawasan Tenggumung Karya Lor, Semampir, Surabaya, pada Senin (7/4/2025) dini hari.

“Peristiwa ini harus dipahami sebagai alarm bahwa terjadi krisis moral pada anak-anak kita terutama mereka yang beranjak menjadi remaja,” ujar M Isa Ansori dalam keterangannya, Senin (5/5/2025).

Isa menilai, situasi ini tak lagi bisa dianggap sebagai kasus insidental. Menurutnya, kekerasan oleh anak terhadap orang tua, tawuran, hingga penolakan terhadap sekolah merupakan gejala darurat sosial yang memerlukan respons negara secara lebih cepat dan aktif. “Fenomena ini tidak bisa dibaca bahwa ini hanya tanggung jawab orang tua saja, tetapi juga ada tanggung jawab yang lain yaitu sekolah, masyarakat dan negara,” tegasnya.

Dalam konteks perlindungan anak, Isa menegaskan bahwa negara seharusnya tidak menunggu laporan, melainkan proaktif membaca data sosial untuk mendeteksi potensi kekerasan sejak dini. “Sebagai entitas yang memiliki akses ke big data sosial, termasuk catatan kriminal, pendidikan, hingga pengaduan masyarakat, negara seharusnya bisa melakukan deteksi dini dan pencegahan,” katanya.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Isa menyebut bahwa negara memiliki dasar hukum untuk mengambil alih pengasuhan anak dalam kondisi darurat. Namun, ia menekankan bahwa pendekatan ini bukan bentuk penghukuman, melainkan tindakan perlindungan dan pemulihan.

“Anak tetap harus mendapatkan haknya atas pendidikan, kesehatan, pembinaan karakter dan kasih sayang, meskipun dalam bentuk pengasuhan alternatif yang terstruktur dan aman,” ujarnya.

Karena itu, Isa mendorong hadirnya Rumah Pemulihan Anak (RPA) sebagai solusi yang berbasis rehabilitasi sosial dan pendidikan alternatif. Menurut dia, lembaga ini memungkinkan remaja pelaku kekerasan menjalani pemulihan dalam lingkungan yang aman dan ramah anak.

“Model ini memungkinkan anak-anak yang tidak bisa lagi dibina dalam keluarga, menolak sekolah, atau melakukan kekerasan, untuk menjalani proses pemulihan di lingkungan yang aman, terstruktur, namun tetap ramah anak,” ucap Isa.

Melalui RPA, kata dia, anak-anak akan mendapatkan pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, serta pendidikan berbasis karakter dan vokasi. Isa pun menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mewujudkan lembaga ini.

“RPA bisa didirikan melalui kerja sama lintas sektor, dinas sosial, pendidikan, kepolisian, dan komunitas pemerhati anak. Penempatan anak dalam lembaga ini dapat melalui rekomendasi psikolog, keputusan pengadilan, atau asesmen sosial dari pemerintah daerah,” paparnya.

Sebagai Kota Layak Anak (KLA), Isa menilai jika Surabaya memiliki infrastruktur sosial dan komitmen kebijakan yang memungkinkan realisasi pilot project RPA. Berbagai fasilitas seperti sekolah alternatif, rumah singgah, hingga lembaga konseling dapat menjadi pondasi awal.

“Piloting project ini diharapkan tidak hanya menangani anak-anak yang terkategori miskin ekstrem dan tidak mempunyai akses pendidikan yang baik, tapi juga mampu menangani anak-anak dalam kondisi rawan kekerasan dan kerentanan sosial,” imbuhnya.

Isa berpandangan bahwa program perlindungan anak yang telah berjalan di Surabaya, selama ini masih kerap ragu mengambil langkah tegas karena khawatir dianggap sebagai kekerasan. Padahal, ketegasan diperlukan dalam situasi tertentu untuk melindungi anak maupun orang di sekitarnya. “Sudah saatnya ketegasan perlu dilakukan bagi anak-anak yang perilakunya sudah membahayakan dirinya, orang lain dan keluarganya,” tegasnya.

Dengan hadirnya RPA, Isa berharap, Surabaya tidak hanya fokus pada penyediaan fasilitas fisik ramah anak, tetapi juga mampu menjangkau anak-anak yang selama ini terpinggirkan dari sistem pendidikan dan pengasuhan konvensional.

“Anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seringkali lahir dari sistem pengasuhan yang gagal. Namun ketika keluarga menyerah, negara tidak boleh ikut menyerah. Negara harus hadir, bukan dengan kekerasan yang baru, melainkan dengan pelukan yang tegas, disiplin yang manusiawi, dan ruang aman untuk bertumbuh kembali,” tutur Isa.

Ia juga menegaskan bahwa pengasuhan yang gagal bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti tekanan ekonomi, lingkungan yang buruk, hingga lemahnya peran keluarga. Kondisi ini dinilainya dapat memicu anak menjadi agresif, putus sekolah dan kehilangan arah.

“Menahan kekerasan sejak dini adalah bentuk perlindungan. Menjaga anak dari lingkungan yang membentuknya menjadi pelaku adalah bentuk kasih sayang. Dan memulihkan mereka, adalah tugas kita bersama sebagai bangsa,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *