SURABAYA (Suarapubliknews) – Drs. Ronny Herowind Mustamu, M.Mgt Dosen Universitas Kristen Petra Surabaya, mengatakan jika terjadi ketimpangan di proses pengaturan kebijakan zonasi terkait PPDB di wilayah Kota Surabaya.
Meski Ronny H. Mustamu sepakat bahwa filosofi zonasi adalah mulia karena memberikan pemerataan keadilan bahi warga dan memulai tradisi agar sekolah dekat dengan tempat tinggal. Namun menurut dia, kebijakan seperti penerapan sistem zonasi harus diawali dengan pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan, karena faktanya dari 31 kecamatan di Kota Surabaya hanya ada 22 SMA Negeri.
“Ini merupakan indikasi kuat bahwa pemerintah lalai menjalankan tugasnya untuk menyediakan sarana prasarana pendidikan yang memadai dan merata,” ucapnya. Sabtu (22/06/2019).
Dan dari 22 SMAN itu 6 di antaranya terdapat di kecamatan Genteng, 2 di kecamatan Rungkut dan sisanya tersebar di 14 kecamatan masing-masing satu SMAN. Artinya, terdapat 15 kecamatan yang tidak ada SMAN sama sekali.
“Tentu ini merupakan ironis di kota Surabaya, sebab Kelurahan Ketabang di Kecamatan Genteng justru memiliki 4 SMAN,” tandasnya.
Ronny mengatakan bahwa semua di atas menunjukkan bahwa argumentasi pemerintah terkait pemerataan berkeadilan adalah tidak tepat. Metoda yang digunakan saat ini dengan fakta empiris seperti yang ada justru merupakan bentuk ketidakadilan yang terstruktur dari pemerintah kepada warga 15 kecamatan tanpa SMAN itu.
Di sisi lain, lanjut Ronny, rasio jumlah SMAN dan calon peserta didik juga tidak seimbang. Sebab ada calon siswa bernilai Ujian Nasional (UN) tinggi ternyata gagal diterima sebab jaraknya 600meter sedangkan jarak terjauh di yang diterima di SMAN itu adalah 536 meter.
“Perlu diketahui bahwa ada 18.820 siswa SMPN (negeri saja) di kota Surabaya yang mengikuti UN 2019. Jelas angka tersebut menjadi lebih besar jika ditambahkan dengan siswa SMP swasta. Jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan daya tampung SMAN di kota Surabaya,” paparnya.
Oleh karenanya Ronny menilai jika sistem zonasi justru memastikan ada ribuan calon siswa tidak bisa diterima di SMAN. Bukan karena nilai UN jelek, tetapi karena jarak alamat ke sekolah.
Yang perlu dicatat, lanjut Ronny, bahwa nilai UN yang baik adalah bukti hasil usaha siswa dalam belajar. Sedangkan jarak alamat ke sekolah merupakan faktor yang tak bisa diubah siswa dengan metoda dan kerajinan belajar.
Terparah, terjadi di Kecamatan Silo Kabupaten Jember bahkan lebih memprihatinkan, karena SMAN terdekat jaraknya sekitar 16km-20km.
“Pendek kata, Menteri dan pendukungnya bilang zonasi adalah bentuk pemerataan pendidikan berkeadilan. Namun saya menuduh pemerintah menghilangkan hak warga yang jarak alamatnya jauh dari sekolah untuk menempuh pendidikan di SMA Negeri,” ujarnya.
Ronny berpendapat jika hal ini akan berbeda jika pemerintah sebelumnya telah melakukan relokasi SMAN agar letak geografisnya merata dan membangun SMAN baru untuk meningkatkan rasio.
“Padahal letak sebaran dan jumlah SMAN adalah variabel yang bisa dikontrol pemerintah, bukan calon siswa, dan calon siswa hanya bisa mengontrol variabel prestasi belajar melalui hasil nilai UN,” pungkasnya.
Berikut adalah data SMA Negeri yang berada di wilayah Kota Surabaya: