BATU (Suarapubliknews) – Tantangan perekonomian Indonesia ke depan masih tergolong cukup tinggi seiring dengan ketidakpastian ekonomi global yang terus berlanjut dan dipengaruhi oleh meningkatnya tensi perang dagang (trade war) antara Amerika dan Tiongkok.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur saat Evaluasi Kinerja dan Capacity Building BPRS periode Semester I tahun 2019 yang mengangkat tema “Meningkatkan Daya Saing BPRS Melalui Inovasi dan Sinergi di Era Revolusi Industri 4.0”.
“Pelemahan pertumbuhan ekonomi global serta peningkatan tensi geo politik. Ditengah dinamika global, ekonomi Indonesia masih tumbuh positif yang ditopang oleh konsumsi. Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diproyeksikan 5,2% (yoy) dan pada triwulan I tahun 2019 terealisasi 5,07% (yoy), sementara inflasi terjaga di median 3,5% (yoy),” katanya.
Selain itu, Indonesia dinilai positif di komunitas global. Rating investment Indonesia cukup baik dengan daya saing global yang terus meningkat, dimana S&P pada akhir Mei 2019 menaikkan rating Indonesia menjadi “BBB” dengan outlook stabil.
Ekonomi Jawa Timur pada triwulan I – 2019 tumbuh 5,51% (yoy) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan nasional dengan tingkat inflasi sebesar 5,07% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi nasional.
Sejalan dengan hal tersebut, sektor jasa keuangan di Jawa Timur juga mencatatkan kinerja yang positif, tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan syariah sebesar 7,38% (yoy) yang ditopang oleh pertumbuhan DPK sebesar 14,5% (yoy) dan kredit/pembiayaan 7,94% (yoy).
Diantara kinerja positif perbankan Jawa Timur, BPRS mampu menunjukkan eksistensinya dengan mencatatkan pertumbuhan volume usaha 8,26% (yoy), DPK 11,05% (yoy) dan Pembiayaan 21,97% (yoy).
Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perbankan secara keseluruhan di Jawa Timur sehingga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Jawa Timur terhadap perbankan syariah dan khususnya BPRS mengalami peningkatan yang signifikan.
“Namun demikian, perbankan syariah di Jawa Timur harus lebih berupaya meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan, mengingat risiko kredit perbankan syariah di Jawa Timur cenderung meningkat secara signifikan dengan rasio NPF pada bulan Mei tahun 2019 sebesar 5,16%,” lanjut Heru.
Dalam acara yang dihadiri Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah dari 27 BPRS se Jawa Timur ini mendatangkan narasumber Tantri Indrawati (Direktur Kepatuhan BCA Syariah) dan Prof. Jaih Mubarok (Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).
Revolusi industri 4.0 telah merubah paradigma masyarakat dunia dan banyak menawarkan peluang bagi perbankan dan hal tersebut harus ditangkap oleh BPRS. Oleh karena itu, Heru Cahyono berharap agar pengembangan strategi bisnis yang dilakukan oleh BPRS di Jawa Timur bukan hanya berfokus pada produk yang dipasarkan (product based) namun bergeser (shifting) pada ide-ide untuk melakukan kolaborasi mengembangkan platform bersama (platform based), baik dengan sesama BPRS dalam satu industri, maupun berkolaborasi dengan Bank Umum Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya seperti asuransi syariah, fintech syariah dan LKM Syariah. (q cox, Tama Dinie)