SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Keberadaan lokalisasi di Kota Surabaya kini tinggal cerita. Itu seiring upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengalihfungsi kawasan tersebut sejak empat tahun lalu. Meski lokalisasi kini tinggal nama, tetapi Pemkot Surabaya terus melakukan fungsi monitoring. Utamanya melakukan pemeriksaan HIV di kawasan eks lokalisasi tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Febria Rahmanita mengatakan, setelah lokalisasi Dolly ditutup Pemkot Surabaya pada pertengahan 2014 silam, menyusul lokalisasi Sememi dan Dupak Bangunsari, Pemkot meningkatkan pemeriksaaan HIV kepada mereka yang ‘terjaring’ di kawasan tersebut. Termasuk juga melakukan pemeriksaan kepada ibu hamil.
“Kami terus melakukan monitoring di kawasan eks lokalisasi. Termasuk melakukan penyuluhan di kelurahan dan juga tempat-tempat umum seperti terminal. Kami juga meningkatkan pemahaman kepada warga agar tidak ada stigma negatif dan diskriminasi terhadap pengidap HIV,” jelas Febria Rahmanita ketika jumpa pers di Kantor Bagian Humas Pemkot Surabaya, Rabu (3/5/2017)
Dijelaskan Febria, dari tahun ke tahun, jumlah pengidap HIV yang ada di Surabaya terus mengalami penurunan. Dari jumlah 935 (bukan 335) pengidap HIV pada 2014, turun menjadi 933 orang pada 2015 dan kembali turun pada 2016 menjadi 923 orang. Penurunan tersebut salah satunya karena adanya upaya Pemkot untuk memulangkan wanita tuna sosial (WTS) ke daerah asalnya. Karena memang, mayoritas pekerja ‘dunia hitam’ ini berasal dari luar Surabaya.
Lalu, bila berdasarkan wilayah bekas lokalisasi, untuk wilayah eks lokalisasi Sememi yang dulunya 57 orang, kini menjadi lima (5) orang, lalu eks kawasan Dupak Bangunsari dari 68 orang menjadi empat (4) orang. Serta di eks lokalisasi Dolly dari 110 menjadi 36 orang.
“Jumlah tersebut diketahui dari hasil pemeriksaan di Puskesmas dan juga hasil razia yang dilakukan Satpol PP di kawasan eks lokalisasi ataupun di kos-kos an yang awalnya positif narkoba kemudian kami tes HIV. Tidak semuanya merupakan WTS, ada juga ibu rumah tangga, karyawan, buruh kasar juga seniman,” jelas Febria.
Berdasarkan data tersebut, jumlah penyandang HIV di Surabaya memang terbilang masih cukup tinggi. Dan itu tidak lepas dari fakta banyaknya jumlah penduduk Surabaya serta semakin bertambahnya warga pendatang. Apalagi, dari hasil temuan, jumlah warga Surabaya dan luar Surabaya adalah satu (1) berbanding 10.
“Semakin banyak penyandang HIV ditemukan, itu berarti surveillance (pengawasan) kita bagus. Dan yang terpenting adalah kami terus melakukan pendampingan dengan dipantau minum obatnya atau bisa kita rujuk ke rumah sakit ,” jelas pejabat yang juga dokter gigi ini.
Di Surabaya ada sembilan rumah sakit untuk melakukan pengobatan pengidap HIV. Diantaranya RSUD Soewandhie, RSUD Bakti Darma Husada (BDH), RSAL Rumah Sakit Bhayangkara dan RS Unair. Serta ada tujuh Puskesmas yakni Putat, Perak Timur, Sememi, Dupak, Jagir, Kedurus dan Kedung Doro.
“Itu untuk pengobatan ARF (Anti Retrofarial). Kalau untuk pemeriksaan sudah bisa ke seluruh Puskesmas. Kami punya 63 Puskesmas dan kami punya data plus alamat penyandang HIV,” jelas Kadinkes. (q cox)