Peristiwa

Pedagang Botol Bekas Bongkaran Tuntut Relokasi, Ini Jawaban Satpol-PP Surabaya

160
×

Pedagang Botol Bekas Bongkaran Tuntut Relokasi, Ini Jawaban Satpol-PP Surabaya

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Lapaknya dibongkar tanpa ada tempat relokasi, sekitar 50 pedagang botol bekas yang berjualan di Jalan Bongkaran Surabaya sejak tahun 70 an ini menggelar unjuk rasa menuntut keadilan dari Pemkot Surabaya.

Dalam aksinya, para pedagang membawa sejumlah poster yang bertuliskan : Kami butuh solusi bukan arogansi, perut kami lapar anak kami butuh biaya, kami menuntut keadilan dan wakil rakyat harus segera bertindak.

Fauzi perwakilan pedagang mengatakan, jika sampai saat ini para pedagang masih bertahan di lokasi, padahal sebelumnya pada tahun 2012 sudah ada kesepakatan antara pedagang, kalangan DPRD dan Satpol PP yang isinya, pedagang boleh berjualan asalkan merapikan dagangannya, tidak boleh menginap dan menetap sembari menunggu relokasi.

“Ini relokasi belum ada Satpol PP sudah membongkarnya,” tegasnya dengan nada kecewa. Rabu (22/11/2017)

Fauzi berharap ada win-win solution dalam menyelesaikan masalah pedagang yang berjualan di Jalan Bongkaran.

“Kami telah mengirim surat pengaduan ke Komisi A DPRD Surabaya, pada tanggal 27 Oktober 2017. Namun hingga kini belum ada jawaban. Kami berharap bisa duduk bersama difasilitasi DPRD Kota,” katanya

Pedagang lain bernama Sugianto, menduga jika pembongkaran yang dilakukan karena ada permintaan dari pertokoan yang ada di sekitarnya, Pembongkaran tak hanya lapak pedagang, namun juga tembok pembatas antara sempadan jalan dengan pertokoan.

“Dengan dibongkarnya dinding pembatas, area toko menjadi lebih luas. Makanya, ada indikasi (permintaan pembongkaran) dari pertokoan,” tambahnya.

Sugianto mengaku, sejak pembongkaran lapak-lapak dan pagar pembatas dilakukan, para pedagang kesulitan berjualan. Padahal, mereka juga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kalau perut lapar gak bisa diulur-ulur,” tegasnya

Para pedagang botol bekas ini mengaku jika sebenarnya pada tahun 1970 an (orang tua mereka-red), telah membayar iuran ke pemerintah kota Surabaya. namun iuran itu terhenti sejak berdirinya pertokoan di belakang lapak para pedagang.

“Sejak berdirinya pertokoan di belakang lapak para pedagang, sudah tak ada lagi. Dulu bayar ke Kotamadya, waktu itu pembantu walikota. Cuma, kuitansinya sudah hilang” paparnya

Bahkan menurut mereka, sejak berdiri pertokoan, para pedagang juga sempat ditawari sejumlah kompensasi dari pemilik pertokoan agar mereka pindah ke tempat lain. “Tapi waktu itu, kami tolak, karena kami butuh tempat,” tandas Sugianto.

Para warga juga menyampaikan, bahwa area pertokoan tersebut dulunya adalah kantor PT KAI. Namun, mereka tidak mengetahui pasti, proses peralihan kantor KAI menjadi pertokoan.

Saat dikonfrimasi media ini, Kabid Ketentraman dan Ketertiban Umum (Trantibum) Satpol PP Surabaya Bagus Supriyadi, mengatakan jika lokasi yang ditempati untuk berjualan memang area yang menjadi larangan.

“Ditertibkan karena di jalan dan di atas saluran,” jawabnya.

Ditanya soal rencana relokasi, Bagus mengatakan jika Pemkot Surabaya memang tidak merencanakan relokasi. “Gak ada mas.. mereka sudah bertahun tahun di situ,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *