SURABAYA (Suarapubliknews) – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 dinilai memberatkan para pelaku usaha kafe dan restoran di Jawa Timur. Mereka menilai langkah tersebut kian memukul industri kafe dan restoran, di tengah upaya mempertahankan usaha akibat pandemi Covid-19.
Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo), Tjahjono Haryono mengatakan, ada beberapa hal yang memberatkan pelaku usaha dalam penerapan PPKM yang sudah diatur oleh pemerintah pusat tersebut. Di antaranya kapasitas kafe dan restoran yang dibatasi hanya 25 persen, serta jam operasional yang hanya sampai pukul 19.00 untuk makan di tempat (dine in).
“Kami tidak tahu barometer dari mana ketika tempat makan hanya boleh 25 persen dari kapasitas, sedangkan untuk tempat ibadah bisa 50 persen. Kemudian jam operasional kafe restoran ataupun mal hanya sampai jam 7 malam, ini kan lucu,” katanya.
Menurutnya, dalam operasional sebuah kafe dan restoran terdapat 2 shift yakni siang dan malam. Jika dibatasi jam hanya sampai pukul 19.00, tempat usaha sejak sore otomatis sudah akan sepi pelanggan. Jika pun ada layanan delivery 24 jam, hal itu dinilai tidak akan mendongkrak kinerja.
“Mal yang tutup jam 9 atau 10 malam saat ini saja sudah kelihatan sepi pada pukul 8 malam. Bayangkan kalau tutup jam 7 malam, apakah jam 18.45 saat orang sedang makan malam lalu keburu diusir? Mungkin orang sekalian pulang kerja langsung pulang dan tidak akan keluar lagi untuk makan, meski bisa delivery 24 jam, siapa yang mau makan tengah malam?,” lanjut Tjahjono.
Tjahjono pun mengusulkan agar di Kota Surabaya sebagai pusat pergerakan ekonomi di Jatim ini tetap menjalankan aturan Perwali Surabaya No.67 tentang pembatasan sosial di antaranya seperti kapasitas 50 persen, operasional sampai jam 9 malam dan protokol kesehatan ketat dengan mengenakan denda bagi yang melanggar.
“Kami sendiri masih menunggu keputusan Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim karena aturan detailnya masih digodok. Namun kalau boleh kami bersikap, Surabaya saat ini juga bukan zona hitam atau merah tetapi tidak tahu kenapa keputusan pemerintah pusat seluruh Jawa-Bali harus dilakukan pembatasan,” imbuhnya.
Dia pun membuka diri jika Pemkot Surabaya atau Pemprov Jatim mengundang kalangan pengusaha untuk dimintai masukan terkait aturan dalam PPKM tersebut. Sepanjang 9 bulan industri kuliner telah porak-poranda akibat pandemi. Bahkan di akhir tahun pada momen Natal dan Tahun Baru yang cukup diandalkan untuk mendongkrak penjualan pun ternyata tidak berpengaruh siginifikan terhadap omset.
“Saat momen akhir tahun kemarin kami berharap bagus karena juga banyak orang stay di dalam kota tidak bepergian, tapi ternyata banyak juga yang ke luar kota. Lalu bagi industri ini juga ternyata ada yang omsetnya tidak sampai 50 persen. Makanya kita berharap tahun ini akan lebih baik,” tandasnya. (q cox, tama tama dinie)