Hukrim

Pro Kontra Hukuman Kebiri Bagi Predator Anak, Ini Pendapat Akademisi Unair Surabaya

129
×

Pro Kontra Hukuman Kebiri Bagi Predator Anak, Ini Pendapat Akademisi Unair Surabaya

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Menjadi salah satu narasumber acara Diskusi Publik yang digelar kelompok Pokja Wartawan Pengadilan dan Kejaksaan (Kompak), Taufik Rahman Dosen Pidana Fakultas Hukum Unair, mengatakan bahwa pro dan kontra soal hukuman tambahan kebiri untuk predator anak harus dilihat dari sisi pemidanaan.

“Saya yakin banyak dari mereka belum membaca putusan asli seperti saya. Tetapi yang miss satu hal, yakni pemahaman kita ada di pidana itu sendiri. Kita harus berbicara pidana pokok dan tambahan,” ucapnya di Imperial Palace. Rabu (28/08/2019)

Menurut Taufik, jika membaca undang-undang Perlindungan Anak dengan jeli, di situ ada pengumuman identitas pelaku pidana tambahan yang ada di undang-undang tambahan KUHP.

“Disebutkan beberapa kriteria yang pertama terkait rehabilitasi, kemudian yang kedua kebiri kimia itu bukan pidana tambahan tapi itu adalah tindakan yang ketiga pemasangan alat pendeteksi elektronik ini bukan tambahan tapi ini adalah sebuah tindakan,” terangnya.

Terkait respon Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang serta merta menolak melaksanakan eksekusi karena dianggapat bertentangan dengan sumpah dan janji dokter, Taufik menerangkan hala ini akan berhadapan dengan pasal 216 KUHP.

“Tapi ini bukan soal menang-menangan, karena harus dilakukan dan harus dicari jalan solusinya. Saya pribadi berpendapat tidak semua Dokter tidak setuju dengan kebiri kimia menurut saya sebelumnya isu mengenai etis atau tidak etis ini tidak hanya terkait kebiri kimia, di Amerika itu penerapan hukuman mati itu juga dilakukan oleh dokter dan apa semuanya setuju itu, jawabnya tidak, karena ada yang setuju dan tidak,” terangnya.

Dia berpendapat, kalau ingin belajar dari Amerika, dokter yang melakukan itu ditutup identitasnya dan tidak boleh diungkapkan kemudian rumah sakit yang ditunjuk juga tidak boleh ditunjukkan.

“Ini tugasnya Pak Jaksa sebagai eksekutor untuk urusan mencari, adakah rumah sakit dan dokter yang mau, di dalam aturan pelaksanaannya harus disebutkan bahwa tidak boleh ada pengungkapan tentang identitas daftar maupun identitas rumah sakit. Sesimpel itu. Tapi kalau seumpama semua dokter di Indonesia tidak mau berarti ini namanya non eksekutabel discussion,” tandasnya.

Taufik mengimbau, jika berbicara soal hukum maka tidak boleh berasumsi, artinya harus berdasarkan fakta. “Tadi sudah diberikan pencerahan ini dilakukannya kalau sudah pidana pokoknya sudah dilaksanakan 12 tahun, masak pemerintah tidak bisa menyiapkan regulasinya,” ungkpanya.

Namun Taufik juga mengingatkan, bahwa kasus ini bukan permasalahan yang simpel karena permasalahannya menyangkut nasibnya orang yang harus dipahami secara psikologi

“Yang sering dilupakan itu perspektif korban, ini harus diperhatikan korban-korban ini, karena ada belasan anak, ini banyak sekali, nah korban-korban ini bagaimana, memang ada pendapat yang saya lihat tetap saja perspektif HAM banyak berbicara tentang hak asasi,” tambahnya.

Dia memaparkan, kalau kebiri kimia ini dianggap biadab tapi kenapa negara maju banyak yang masih menggunakan. “Saya melihat memang ini sudah di media yang pertama adalah terkait mengenai untuk mendapatkan crule,” paparnya.

“Yang kedua penerapan hukum memang harus proporsional, dan proporsional atau tidak itu memang harus dari hakim. Apakah dia melanggar atau tidak dalam memutuskan itu, karena Hakim memutuskan itu kan harus ada teorinya,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *