SURABAYA (Suarapubliknews) – Konflik klaim kepemilikan tanah antara warga RT 08 RW 02 Kelurahan Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran dengan Pemerintah Kota Surabaya memanas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi A DPRD Surabaya, Selasa (22/7/2025). Rapat yang dipimpin langsung Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widiatmoko, mempertemukan perwakilan warga, BPKAD, Bagian Hukum dan Kerjasama, BPN, namun hasilnya berujung buntu alias deadlock.
Udin, salah satu perwakilan warga dengan suara bergetar menyampaikan keresahan yang dialami ratusan warga yang mengaku telah memiliki sertifikat tanah hasil program PTSL tahun 2019. Ia mengaku bingung ketika mendapati tanah yang sudah bersertifikat itu tiba-tiba masuk dalam daftar aset milik Pemkot Surabaya. Udin menegaskan, sebelum proses jual beli rumahnya, ia diarahkan ke BPKAD. Awalnya tanah disebut terindikasi tanah tambak atau asin, namun kemudian berubah menjadi tanah aset negara. “Warga sangat resah, 75 persen sudah bersertifikat, sisanya hanya pegang petok D. Kalau sudah bersertifikat kok tiba-tiba jadi aset Pemkot? Apa dasarnya?” cetus Udin.
–
Kemarahan warga direspons keras oleh Saifudin, anggota Komisi A DPRD Surabaya. Ia menegaskan bahwa perjuangan warga adalah konstitusional. “Perkaranya jelas, bukan rakyat lawan pemkot, tapi Pemkot lawan BPN! Karena sertifikat keluar dari BPN, bukan dari Pemkot. Kalau BPN mengeluarkan sertifikat dan Pemkot mengklaim aset, maka institusi negara sendiri yang bertabrakan,” tegas Saifudin. Ia bahkan bersumpah tidak akan mundur sejengkal pun bila ada tindakan zalim dari Pemkot kepada warga.
–
Dari pihak Pemkot Surabaya, Kepala Bidang Hukum dan Kerjasama Rizal menjelaskan bahwa Pemkot tetap mengacu pada data resmi di Sistem Informasi Barang Daerah (SIMBADA), dimana tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset hasil tukar-menukar dengan PT TWP sejak tahun 1982. Rizal menegaskan, Pemkot tidak akan gegabah mencoret tanah dari aset tanpa kajian mendalam, terlebih sudah tercatat GS (Gambar Situasi) sejak 1990. “Kita mengacu pada ketentuan hukum, kita tidak mau asal setuju kemudian kita melanggar aturan. Kita akan libatkan kejaksaan pengacara negara untuk kajian lebih lanjut,” ujar Rizal.
–
Senada, Kepala BPKAD Surabaya, Wiwiek Widayati, menyebut akar persoalan bermula dari tukar-menukar tanah antara Pemkot Surabaya dan PT TWP di era 1980-an. Data historis menunjukkan tanah tersebut sudah dialihkan ke nama Pemkot Surabaya dan proses sertifikasi sudah berlangsung sejak lama. Namun, Wiwiek juga mengakui adanya fakta di lapangan, yakni sekitar 322 bidang tanah sudah bersertifikat SHM melalui program PTSL tahun 2019. “Kami paham keresahan warga, tapi pemerintah juga punya kewajiban mengamankan aset daerah. Itu sebabnya kami minta pendampingan kejaksaan sejak 2020,” jelas Wiwiek.
–
Di sisi lain, Ketua Komisi A, Yona Bagus Widiatmoko menyampaikan kekecewaannya karena data di lapangan simpang siur. Ia mengungkapkan beberapa kelurahan yang terkait ternyata tidak memiliki data yang valid atau “kretek” terkait lahan tersebut. “Ini mengherankan, bagaimana mungkin lurah tidak punya data riwayat tanah warganya? Ini PR besar,” tegas Yona.
–
Di penghujung rapat, Yona menyimpulkan bahwa RDP tidak menemukan titik temu. Ia menyebut rapat deadlock dan akan diagendakan ulang dengan mengundang Kepala Kantor Pertanahan Surabaya agar bisa hadir langsung memberi kejelasan di forum DPRD. “Saya tidak ingin warga terus hidup dalam ketidakpastian. Fakta ada warga yang sertifikatnya sudah dipakai agunan di bank milik pemerintah, ini membuktikan negara sempat mengakui hak mereka. Jangan sampai pemerintah berseberangan dengan warganya,” tegas Yona.
–
Persoalan tanah Tambak Wedi menjadi cermin tumpang tindih regulasi antara Pemkot dan BPN. Di satu sisi, warga merasa legal secara administratif dengan kepemilikan sertifikat resmi. Di sisi lain, Pemkot mengklaim kewenangan menjaga aset daerah. Ketegangan memuncak, DPRD menyatakan deadlock, dan babak baru pertarungan konstitusional akan berlanjut. Satu hal yang pasti, DPRD Surabaya berjanji takkan membiarkan rakyat sendirian menghadapi kekuatan birokrasi. Perang legalitas belum usai, namun suara rakyat sudah jelas: jangan rampas hak yang sudah mereka pegang sah di tangan.(**)