SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Dukungan suara 86 Persen saat Pilkada Surabaya 2010 bukan angka yang mini. Perolehan suara yang mengantar pasangan Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana menuju Balai Kota Surabaya tidak didapat begitu saja.
Namun, masyarakat Surabaya secara suka rela dan berharap besar kepada pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan. Beban besar ada dipundak Risma dan Whisnu untuk menjadikan Kota Surabaya lebih hebat lagi dari sebelumnya.
Namun baru lima bulan menjalankan tugas pada periode keduanya, Risma kembali menghadapi pilihan yang sulit. Sulit karena keputusannya tentu akan mengakibatkan kekecewaan bagi warga, warga Kota Surabaya maupun Propinsi DKI Jakarta.
Bila Risma menuruti keinginan sebagian warga DKI untuk maju pada Pilgub DKI Jakarta pada 2017 melawan incumbent Basuki T Purnama atau Ahok, tentu warga Kota Pahlawan akan berang dan kecewa besar.
Sebaliknya, jika Risma memutuskan untuk menyelesaikan kewajibannya sebagai wali kota Surabaya hingga 2021 akan berbuah ‘sakit hati’ di lubuk terdalam warga ibukota yang tak menghendaki Ahok kembali menjadi nahkoda Jakarta.
Maju kena mundur kena! Itulah yang dirasakan Risma. Dukungan kepada Risma agar tidak hijrah memenuhi ‘nafsu’ orang Jakarta yang geram terhadap Ahok juga tak bisa diabaikan. Dukungan itu riil, sesuai hasil Pilkada Surabaya 2010 yang mencapai perolehan 86,61 Persen.
Sedangkan, daya tarik Jakarta berupa letupan kecil di kampung-kampung yang terus tumbuh secara sporadis namun terstruktur. Tidak kolosal, namun ‘pertunjukan’ politik menarik Risma ke Jakarta tidak juga bisa diabaikan.
Pertanyaan besarnya adalah, dukungan ke Jakarta itu digelorakan karena Risma benar-benar sebagai sosok pemimpin yang memiliki kemampuan mengelola ibukota ataukah hanya karena ‘dendam’ dengan Ahok. Sederhananya, asal bukan Ahok!
Patut dicermati, menjamurnya deklarasi dukungan kepada Risma di pelosok kampung di Jakarta apakah murni kesadaran kebutuhan akan sosok Risma di Jakarta ataukah ada ‘tangan’ lain di sana?
Kembali ke Risma, sebagai wali kota yang sudah dua periode memimpin juga harus cermat menentukan langkah politiknya. Maju untuk mengabdi ke wilayah yang lebih besar atau cukup di Surabaya sebagai bukti tanggungjawabnya.
Apalagi Risma selama ini selalu menyangkal memiliki nafsu untuk mengejar jabatan, termasuk kursi gubernur DKI Jakarta. Risma selalu berkelit ketika menanggapi isu Pilgub DKI. Risma selalu meyakinkan bahwa dirinya memiliki janji kepada warga Kota Surabaya yang telah memberikan kepercayaan.
Sikap Risma konsisten, dirinya tidak pernah berucap untuk bersedia maju dicalonkan ke Jakarta, duel dengan Ahok. Risma tidak pernah meminta apalagi mengemis. Itulah Risma! Tentu jika Risma menolak, tentunya jika tiket dari DPP PDI Perjuangan keluar atas namanya tentu kegaduhan yang akan lebih besar kembali terjadi. Risma bakal dicap sebagai penghianat partai, karena sebagai petugas partai menolak penugasan.
Tetapi jika DPP PDI Perjuangan menjatuhkan rekomendasi kepada calon selain Risma, tentu juga akan tetap membuat kekecewaan yang mendalam bagi warga atau kader partai yang diam-diam ingin Risma bertarung ke Jakarta. Alasan klasik yang beredar, jika Risma menolak atau tidak mendapat tiket ke Jakarta maka karir politiknya akan tuntas 2021. Risma akan kembali menjadi ibu rumah tangga.
Tapi jika melihat karakternya, Risma tidak akan gundah atau menangis jika tidak mendapat ‘tempat’. Diprediksi alumni ITS ini akan kembali mengajar jika telah pensiun dari hingar bingar politik.
Untuk persoalan jabatan di manapun, Risma tidak pernah memedulikannya. Risma menyerahkan urusan tersebut kepada Allah SWT. Risma tetap percaya takdir yang menentukan masa depannya.
Tetap di Surabaya ataukah Risma harus duel dengan Ahok di Jakarta, itulah takdir yang menjawabnya!
(Penulis: Heri Dwi Wahyudi- jurnalis Suarapubliknews.net)