SURABAYA (Suarapubliknews) – Tetap produktif ditengah pandemic covid 19 menjadi pilihan pelukis dan penulis buku asal Surabaya, Hamid Nabhan. Terbukti dengan diluncurkannya karya terbaru buku cerpen yang berjudul Sang Badut dan Penyair.
Buku setebal 40 halaman ini berkisah tentang persahabatan seorang badut dan penyair. Cerita yang mengangkat kehidupan sehari – hari dan masalah sosial di sebuah kota metropolitan. Alur ceritanya sederhana, tanpa lika liku yang berarti, yaitu tentang pertemuan-pertemuan dua sahabat secara rutin di Taman Balai Kota. “Ini sebenarnya cerita satir yang saya lihat selama pandemi berlangsung dalam kehidupan sehari – hari,” ungkap Hamid Nabhan.
Dipilihnya tokoh badut bernama Pulot dan Sahabatnya Penyair bukan tanpa alasan Badut adalah tokoh komedi, sedang penyair lebih sebagai perenung yang dekat dengan tragedi. Bila Badut memandang hidup adalah komedi, Penyair melihat kehidupan manusia, khususnya di Indonesia, sebagai tragedi.
“Kisah dalam cerpen ini menggaris-bawahi fakta bahwa Badut menciptakan kegembiraan pada para penontonnya, meskipun dia kelaparan karena sudah dua hari tidak makan. Begitu pula penyair, karyanya mungkin dipuja dan jadi pembicaraan masyarakat, namun dia selalu kekurangan uang,” ungkap Prof Jakob Sumardjo dalam kata pengantarnya dibuku ini.
Baik Badut maupun Penyair adalah dua tokoh miskin yang menjadi korban dari para majikan atau pemimpin bangsa ini. Itulah sebabnya Badut dalam cerpen ini menyindir kaum “badut” kelas atas yang tak bisa membuat orang tertawa, tetapi malah membuat hidup rakyat semakin miskin dan menderita. “Badut adalah pekerjaan yang mulia. Tidak pernah ada badut yang merugikan uang negara,” salah satu kalimat yang diucapkan Pulot dalam buku ini.
Seperti biasa buku ini akan dibagikan Hamid Nabhan secara gratis pada teman – teman terdekat dan perpustakaan yang membutuhkan. “Saya tidak cetak banyak hanya sekitar 200 exemplar saja. Tak hanya buku ini. saya sedang menyusun 4 buku lagi diantaranya tentang kisah perjalanan saya September lalu dalam Menyusuri Lorong Sejarah,” ceritanya.
Diakui Hamid Nabhan dia merindukan masa – masa sebelum pandemi, dimana Ia bisa berkumpul bersama rekan dan relasi, berpameran bersama serta bepergian kesuatu daerah untuk melukis atau menulis. “Sekarang saya keluar rumah hanya kalu benar – benar penting itupun dengan semua protocol kesehatan seperti memakai masker, bawa handsanitizer dan jaga jarak ditempat umum,” lanjutnya.
Hamid berpesan agar masyarakat tetap semangat dimasa pandemic, maju terus dan berkarya serta mematuhi protocol kesehatan. (q cox, tama dinie)