SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Surabaya Survey Center (SSC) merilis jumlah masyarakat yang belum paham Pilkada Jatim 2018 sangat tinggi. Hingga delapan bulan jelang pilkada, sebanyak 43,4 persen masyarakat yang tidak mengetahui adanya pesta demokrasi di Jatim.
Tak pelak lagi, berbagai tudingan miring dialamatkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim. Sebagai penyelenggara pilkada, KPU Jatim dituding tidak serius dalam mensosialisasikan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim 2018.
“KPU tidak menunjukkan keseriusannya dalam melakukan sosialisasi terkait pilkada Jatim 2018. Buktinya, masih banyak masyarakat yang tidak tahu tahun depan ada pilkada Jatim,” kata Peneliti Senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam di Surabaya, Kamis (14/12/2017).
Berdasarkan hasil survei SSC yang dirilis Rabu (13/12), menunjukkan bahwa 43,4 persen responden masih belum mengetahui bahwa pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru bagi Jatim bakal diselenggarakan. Artinya, dari 940 responden sebanyak 408 orang masih belum mengetahui tentang pilgub Jatim yang akan diselenggarakan di tahun 2018.
Kemudian, 66,6 persen sisanya atau 532 responden sudah paham bahwa pilgub bakal diselenggarakan tahun depan. “Pilkada Jatim tinggal delapan bulan lagi, tapi gregetnya tidak. Minim sekali informasi tahapan Pilkada atau hal lain yang bisa memantik perhatian dan rasa ingin tahu publik,” tandasnya.
Melihat kondisi tersebut, Surokim memandang perlu kolaborasi antara KPU bisa berkolaborasi dengan berbagai kelompok masyarakat. Sosialisasi melalui jejaring dengan media yang potensial dilihat mampu untuk menyalurkan informasi tersebut kepada masyarakat luas.
jika kondisi ini dibiarkan, pihaknya khawatir akan membuat masyarakat jadi apatis dan adem ayem. Jumlah golput semakin lama akan semakin tinggi. “Akan sangat berbahaya jika tidak ada yang bisa memantik partisipasi politik dalam pemilu. Di sini, penyelenggara pemilu menjadi dituntut untuk pro aktif dalam kaitan sosialisasi,” tegasnya.
Diakui, memang banyak faktor yang membuat publik tidak responsif terhadap Pemilu. Seperti misalnya, penyelenggaraan Pemilu tidak mampu memberikan solusi konkret kepada para pemilih rasional. “Kalau sudah begitu, bila penyelenggara tidak kreatif dalam melakukan terobosan sosialisasi, maka masyarakat tidak akan tertarik,” tuturnya.
Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa 27,7 persen dari seluruh responden mengatakan bahwa mereka masih belum pasti akan menggunakan hak pilih mereka atau tidak. Temuan tersebut dapat diartikan bahwa 260 responden masih memiliki kemungkinan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemilihan kelak.
Hal itu dipandang merupakan bagian dari fenomena demokrasi yang merebak saat ini. “Fenomena demokrasi mutakhir ini menjadikan angka swing voters dan angka undecited voters akan terus meningkat,” ujarnya. (q cox, Wb)