SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Kasus kecelakaan kerja sepanjang tahun 2017 di Jawa Timur (Jatim) mengalami peningkatan dibanding tahun 2016. Tahun ini, kasus kecelakaan kerja mencapai tercatat sebanyak 21.631 kasus.
“Angka itu naik sekitar 200 kasus jika dibanding tahun sebelumnya,” kata Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur (Jatim), Setiajit kepada wartawan di Kantor Disnakertrans Jatim, Kamis (11/1/2018).
Kasus kecelakaan kerja di Jatim tersebut, beda dengan kasus kecelakaan kerja secara nasional. Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan penurunan. Kasus kecelakaan kerja sepanjang tahun 2017 sebanyak 80.393 kasus, turun sekitar 20.975 kasus dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Setiajit, dengan jumlah kasus kecelakaan kerja yang cukup tinggi di Jatim itu, pihaknya menetapkan Jatim sudah darurat K3 (kesehatan dan keselamatan kerja). Karena itu, Disnakertrans Jatim mendorong agar perusahaan tertib dalam melaksanakan K3.
“Begitu juga pekerjanya, wajib mengenakan pengaman ketika bekerja,” tegasnya.
Secara rinci, Setiajit menyebut dari total kasus kecelakaan kerja, sebanyak 14.552 kasus terjadi di tempat kerja. Dari jumlah itu, 768 pekerja mengalami cacat, 3.329 dalam masa pengobatan, 10.354 sembuh dan sebanyak 101 meninggal dunia.
Kemudian kecelakaan lalu lintas ketika pergi dan pulang kerja sebanyak 5.234 kasus. Sebanyak 194 mengalami cacat, 2.497 masa pengobatan, 2.452 sembuh dan 181 meninggal dunia.
Selanjutnya kecelakaan kerja di luar pekerjaan sebanyak 1.755 kasus. Sebanyak 87 mengalami cacat, 648 masa pengobatan, 972 sembuh dan 48 meninggal dunia.
“Sebagian besar kecelakaan kerja itu akibat human error (kesalahan manusia),” tandasnya.
Kasus itu terjadi, lanjutnya, terkadang perusahaan sudah menyediakan perlengkapan keselamatan kerja, tapi oleh pekerjanya sendiri tidak digunakan. Ketika ditemukan ada pekerja maupun perusahaan yang tidak menyediakan alat keamanan, pihaknya langsung melakukan teguran.
Hal itu merupakan bagian dari tugas Disnakertrans Jatim untuk mengawasi pelaksaan K3 di perusahaan. Sayangnya, fungsi pengawasan ini dianggap kurang begitu maksimal karena jumlah petugasnya terbatas.
“Jumlah pengawas tenaga kerja kami hanya 185 orang. Padahal, perusahaan yang harus diawasi mencapai puluhan ribu,” katanya.
Sekretaris Direktur Jenderal Pembinaan Pengawas Ketenagakerjaan dan K3, Budi Hartawan menambahkan, K3 mengatur secara rinci dalam rangka membuat pekerja aman dan nyaman. Misalnya, ketika ada pekerja yang bekerja didalam ruangan, maka ruangan tersebut harus mampu memenuhi syarat-syarat kesehatan.
“Misalnya, pencahayaan harus tepat agar tidak sampai merusak mata pekerja. Ventilasi udara juga harus diukur dengan baik agar kesehatan pekerja tetap terjaga,” ujarnya. (q cox, Wb)